Rabu, 17 Desember 2014

A. UU 5/1985, REFERENDUM Dan Ratifikasi Indonesia Atas Konvensi HAM



A.  UU 5/1985, REFERENDUM
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang : bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat berketetapan untuk mempertahankan Undang-Undang Dasar 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya, sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum, namun untuk melaksanakan Pasal 3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/ MPR/1983 tentang Referendum, perlu dibentuk Undang-undang yang mengatur referendum;
Mengingat :
1.Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG REFERENDUM.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan :
a.Referendum adalah kegiatan untuk meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945;
b.Pendapat rakyat adalah pernyataan oleh Pemberi Pendapat Rakyat;
c.Pemberi Pendapat Rakyat adalah Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang *5576 ini.
Pasal 2
Referendum diadakan apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan, Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/ MPR/1983.
Pasal 3
(1)Referendum diselenggarakan dengan mengadakan pemungutan pendapat rakyat secara langsung, umum, bebas, dan rahasia. (2)Pemungutan pendapat rakyat dilakukan dengan menggunakan surat pendapat rakyat.
Pasal 4
Semua Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang ini, mempunyai hak memberikan pendapat rakyat.
BAB II DAERAH REFERENDUM, PENYELENGGARAAN/ PELAKSANAAN, DAN ORGANISASI PENYELENGGARA/PELAKSANA REFERENDUM
Pasal 5
(1)Daerah referendum adalah wilayah Negara Republik Indonesia. (2)Tempat/gedung Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri termasuk daerah referendum.
Pasal 6
Referendum diselenggarakan dalam waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun terhitung sejak dimulainya pendaftaran Pemberi Pendapat Rakyat sampai dengan penyampaian hasil referendum kepada Presiden sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 7
Pemungutan pendapat rakyat dilaksanakan dalam 1 (satu) hari dan serentak di seluruh wilayah Negara Repubhk Indonesia.
Pasal 8
(1)Pelaksanan referendum dipimpin oleh Presiden.
(2)Presiden menunjuk atau membentuk suatu badan atau lembaga untuk melaksanakan referendum, yang dipimpin oleh Menteri Dalam Negeri.
Pasal 9
(1)Untuk melaksanakan referendum dibentuk Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, Kecamatan, Kelurahan/ Desa, dan di Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
*5577 (2)Gubernur, Bupati/Walikotamadya, Camat, Lurah/Kepala Desa, dan Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri karena jabatannya masing-masing menjadi Ketua Panitia Pelaksana Referendum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)Panitia Pelaksana Referendum terdiri dari unsur Pemerintah.
(4)Pada Panitia Pelaksana Referendum dibentuk Panitia Pengawas Referendum.
(5)Susunan, tugas, fungsi, tata kerja, dan hal-hal lain mengenai Panitia Pelaksana Referendum dan Panitia Pengawas Referendum diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III HAK MEMBERIKAN PENDAPAT RAKYAT DAN PENDAFTARAN PEMBERI PENDAPAT RAKYAT
Pasal 10
Semua Warga Negara Republik Indonesia yang pada waktu pendaftaran Pemberi Pendapat Rakyat sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin adalah Pemberi Pendapat Rakyat, yang mempunyai hak memberikan pendapat rakyat.
Pasal 11
(1)Untuk dapat menggunakan hak memberikan pendapat rakyat, seorang Pemberi Pendapat Rakyat harus terdaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat.
(2)Untuk dapat didaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam "G 30 S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya;

b.nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya;
c.tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3)Seorang Pemberi Pendapat Rakyat yang setelah terdaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat ternyata tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak dapat menggunakan hak memberikan pendapat rakyat.
(4)Warga Negara Republik Indonesia bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau seseorang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam "G 30 S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya, tidak didaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat, kecuali apabila Pemerintah mempertimbangkan penggunaan haknya memberikan pendapat rakyat, yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
*5578 (1)Pemberi Pendapat Rakyat didaftar oleh Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Kelurahan/Desa.
(2)Daftar Pemberi Pendapat Rakyat disusun untuk tiap Kelurahan/Desa dan memuat nama-nama Pemberi Pendapat Rakyat yang bertempat tinggal di Kelurahan/Desa yang bersangkutan.
(3)Pemberi Pendapat Rakyat yang bertempat tinggal di luar negeri didaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat di tempat kedudukan Perwakilan Republik Indonesia.
(4)Seorang Pemberi Pendapat Rakyat hanya dapat didaftar dalam satu Daftar Pemberi Pendapat Rakyat untuk Kelurahan/Desa dimana ia bertempat tinggal, dan jika seorang Pemberi Pendapat Rakyat mempunyai lebih dari satu tempat tinggal, maka yang bersangkutan harus memilih satu di antaranya untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang pasti untuk didaftar sebagai Pemberi Pendapat Rakyat.
(5)Tata cara pelaksanaan pendaftaran dan penyusunan Daftar Pemberi Pendapat Rakyat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV PENERANGAN REFERENDUM
Pasal 13
(1)Sebelum dilakukan pemungutan pendapat rakyat, kepada seluruh rakyat diberikan penerangan seluas-luasnya mengenai penyelenggaraan referendum.
(2)Segala sesuatu mengenai penyelenggaraan penerangan referendum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN PENDAPAT RAKYAT
Pasal 14
(1)Tiap wilayah Kecamatan yang menjadi wilayah kerja Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Kecamatan, merupakan daerah pemungutan pendapat rakyat.
(2)Pemungutan pendapat rakyat dalam daerah pemungutan pendapat rakyat dilakukan di tempat pemungutan pendapat rakyat yang jumlah dan letaknya ditentukan oleh Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Kecamatan dengan memperhatikan tempat tinggal Pemberi Pendapat Rakyat yang telah terdaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat sehingga pemungutan pendapat rakyat dapat dilaksanakan secara mudah dan lancar.
(3)Pemungutan pendapat rakyat di luar negeri diadakan di tempat/gedung Perwakilan Republik Indonesia dan dilakukan pada tanggal yang sama sesuai dengan pemungutan pendapat rakyat di dalam negeri.
(4)Tempat pemungutan pendapat rakyat diatur sedemikian rupa sehingga bagi Pemberi Pendapat Rakyat ada jaminan untuk dapat menggunakan hak memberikan pendapat rakyat secara bebas dan *5579 rahasia.
(5)Untuk pemungutan pendapat rakyat digunakan surat pendapat rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), yang bentuk, isi, dan hal-hal lain mengenai surat pendapat rakyat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(6)Dalam pemungutan pendapat rakyat, Pemberi Pendapat Rakyat membubuhkan tanda pada surat pendapat rakyat untuk menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap kehendak Majelis Pennusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 15
Pelaksanaan pemungutan pendapat rakyat di tempat pemungutan pendapat rakyat diawasi oleh saksi-saksi.
Pasal 16
(1)Segera setelah pemungutan pendapat rakyat berakhir, di tempat pemungutan pendapat rakyat diadakan penghitungan pendapat rakyat. (2)Pemberi Pendapat Rakyat boleh hadir untuk mengikuti pelaksanaan penghitungan pendapat rakyat.
(3)Hasil penghitungan pendapat rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada badan atau lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) melalui jenjang Panitia Pelaksana Referendum, setelah diadakan penjumlahan hasil penghitungan pendapat rakyat oleh Panitia Pelaksana Referendum di tiap tingkat wilayah kerjanya masing-masing.
(4)Hasil penghitungan pendapat rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dijumlah untuk seluruh daerah referendum, terperinci menurut wilayah kerja Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan di Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
(5)Tata cara serta hal-hal lain mengenai pemungutan dan penghitungan pendapat rakyat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI PENETAPAN HASIL REFERENDUM DAN LAPORAN KEPADA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 17
(1)Hasil penghitungan pendapat rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, ayat (4) ditetapkan sebagai hasil referendum.
(2)Hasil referendum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh Menteri Dalam Negeri selaku pimpinan badan atau lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) disampaikan kepada Presiden selaku pimpinan pelaksanaan referendum.
(3)Tata cara penetapan hasil referendum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
*5580 Pasal 18
Rakyat dinyatakan menyetujui kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945, apabila hasil referendum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 menunjukkan bahwa :
a.sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh persen) dari jumlah Pemberi Pendapat Rakyat yang terdaftar telah menggunakan haknya memberikan pendapat rakyat, dan

b.sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh persen) dari Pemberi Pendapat Rakyat yang menggunakan haknya tersebut menyatakan setuju terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 19
Presiden melaporkan hasil referendum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
BAB VII KETENTUAN PIDANA
Pasal 20
(1)Barang siapa dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian Daftar Pemberi Pendapat Rakyat, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun.
(2)Barang siapa meniru atau memalsu suatu surat, yang menurut suatu aturan dalam Undang-undang ini diperlukan untuk menjalankan suatu perbuatan dalam penyelenggaraan referendum, dengan maksud untuk dipergunakan sendiri atau oleh orang lain sebagai surat sah dan tidak dipalsukan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
(3)Barang siapa dengan sengaja dengan mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah tidak sah atau dipalsukan, mempergunakannya atau menyuruh orang lain mempergunakannya sebagai surat yang sah dan tidak dipalsukan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
(4)Barang siapa pada waktu diselenggarakan referendum menurut Undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memberikan pendapat rakyat maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada Pemberi Pendapat Rakyat yang karena menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu.
(5)Barang siapa pada waktu diselenggarakan referendum menurut Undang-undang ini melakukan suatu perbuatan tipu muslimat yang menyebabkan pendapat rakyat seorang Pemberi Pendapat Rakyat menjadi tidak berharga, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tiga tahun.
*5581 (6)Barang siapa dengan sengaja menggunakan hak memberikan pendapat rakyat menurut Undang-undang ini dengan mengaku dirinya sebagai orang lain, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
(7)Barang siapa menggunakan hak memberikan pendapat rakyat lebih dari pada yang ditetapkan menurut Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
(8)Barang siapa dengan sengaja mengacaukan, menghalang-halangi, atau mengganggu penyelenggaraan referendum menurut Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
(9)Barang siapa pada waktu dilaksanakan pemungutan pendapat rakyat menurut Undang-undang ini dengan sengaja dan dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan, menghalang-halangi seseorang akan menggunakan haknya dengan bebas dan rahasia serta tidak terganggu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
(10)Barang siapa pada waktu diselenggarakan referendum menurut Undang-undang ini dengan sengaja menggagalkan pemungutan pendapat rakyat yang telah dilakukan, atau melakukan suatu perbuatan tipu muslihat, yang menyebabkan hasil pemungutan pendapat rakyat itu menjadi lain daripada yang harus dinyatakan sah, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
(11)Dalam menjatuhkan pidana atas perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3), surat-surat yang dipergunakan dalam tindak pidana itu, beserta benda-benda dan barang-barang yang menurut sifatnya diperuntukkan guna meniru atau memalsu surat-surat itu, dirampas dan dimusnahkan, juga kalau surat-surat, benda-benda atau barang-barang itu bukan kepunyaan terpidana.
Pasal 21
(1)Seorang majikan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang pekerjanya untuk menggunakan hak memberikan pendapat rakyat tanpa alasan bahwa pekerjaan daripada pekerja itu tidak memungkinkan, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan.
(2)Seorang penyelenggara referendum yang melalaikan kewajibannya, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan atau pidana denda setinggi-tingginya lima belas ribu rupiah.
Pasal 22
(1)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 adalah kejahatan.
(2)Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 adalah pelanggaran.
BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN
*5582 Pasal 23
Apabila di suatu tempat di dalam daerah referendum, sesudah diadakan penelitian dan pemeriksaan ternyata terdapat kekeliruan, kesalahan, atau hal-hal lain dalam pemungutan pendapat rakyat yang mengakibatkan tidak dapat dilakukan penghitungan pendapat rakyat, maka Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Propinsi, Kabupaten/Kotamadya yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh instansi Pemerintah setempat, dan di Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, dapat mengadakan pemungutan pendapat rakyat ulangan di tempat yang bersangkutan dengan mengingat ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 24
Apabila di suatu tempat di dalam daerah referendum tidak dapat diselenggarakan referendum atau penyelenggaraannya terhenti disebabkan oleh keadaan yang memaksa, maka sesudah keadaan memungkinkan, segera diadakan referendum ulangan atau referendum susulan di tempat yang bersangkutan dengan mengingat ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Pelaksanaan Undang-undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 18 Maret 1985 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 18 Maret 1985 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1985 TENTANG REFERENDUM *5583 UMUM
Undang-Undang Dasar 1945, yang dalam Pembukaan memuat Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Dasar Negara, dan Ideologi Nasional, harus dipertahankan dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa Undang-Undang Dasar 1945, yang memiliki dan memberikan landasan idiil yang luhur, landasan struktural yang kokoh yang menjamin stabilitas pemerintahan, serta memiliki dan memberikan landasan operasional yang memberikan pengarahan yang dinamis dalam berbagai bidang kehidupan, mampu menghadapi tantangan dan memenuhi kebutuhan bangsa Indonesia. Sehubungan dengan itu bangsa Indonesia telah menetapkan sikap dan tekad mempertahankan dan melestarikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 sendiri memungkinkan diadakan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37. Mengubah Undang-Undang Dasar 1945 merupakan masalah yang mendasar dan menyangkut kehidupan negara dan bangsa Indonesia. Walaupun Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai hak melaksanakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, namun perlu dicarikan sarana yang konstitusional agar Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 tidak mudah digunakan dan rakyat harus dijamin haknya untuk menyatakan pendapat mengenai soal kenegaraan yang sifatnya mendasar tersebut, yaitu melalui referendum. Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945 dengan memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/1983 dan Nomor IV/MPR/ 1983, maka hal itu harus ditanyakan terlebih dahulu kepada rakyat melalui referendum yang diatur dalam Undang-undang ini. Referendum bertujuan untuk menanyakan kepada rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945. Referendum diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, dan rahasia, didahului dengan penerangan yang seluas-luasnya menyangkut maksud dan tujuan diadakan referendum serta hal-hal teknis pelaksanaannya. Yang dimaksud dengan : aLangsung : Warga Negara Republik Indonesia yang mempunyai hak memberikan pendapat rakyat dapat menggunakan haknya secara langsung tanpa melalui pihak lain dan tanpa perantara maupun tingkatan.
b.Umum: Warga Negara Republik Indonesia yang pada waktu diadakan referendum telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin berhak memberikan pendapat rakyat.
c.Bebas : Warga Negara Republik Indonesia dalam menggunakan hak memberikan pendapat rakyat dijamin keamanannya untuk tidak mendapat tekanan, paksaan, gangguan, atau pengaruh dari siapapun dan dengan cara apapun juga.
d.Rahasia: Untuk dapat menggunakan hak memberikan pendapat rakyat secara bebas, setiap Warga Negara Republik Indonesia dijamin menggunakan haknya secara rahasia dalam arti tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara bagaimanapun mengenai isi pendapat rakyat yang diberikannya sesuai dengan hati nuraninya. *5584 Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai warga negara, dalam referendum mempunyai hak memberikan pendapat rakyat. Hak memberikan pendapat rakyat bagi Pemberi Pendapat Rakyat anggota ABRI digunakan sebagaimana mestinya seperti halnya dengan Warga negara Republik Indonesia yang mempunyai hak memberikan pendapat rakyat. Dengan demikian anggota ABRI didaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemungutan pendapat rakyat. Warga Negara Republik Indonesia bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam "G 30 S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya tidak dapat menggunakan haknya memberikan pendapat rakyat dalam referendum, dan mereka tidak didaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat, kecuali apabila Pemerintah melalui penelitian dan penilaian secara perorangan, selektif, dan cermat telah mempertimbangkan penggunaan haknya memberikan pendapat rakyat dalam referendum, yang tata caranya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan "terlibat langsung" dalam "G 30 S/PKI" ialah:
a.mereka yang merencanakan, turut merencanakan atau mengetahui adanya perencanaan "G 30 S/PKI", tetapi tidak melaporkan kepada yang berwajib;
b.mereka yang dengan kesadaran akan tujuannya, melakukan kegiatan-kegiatan dalam melaksanakan "G 30 S/PKI". Yang dimaksud dengan "terlibat tidak langsung" dalam "G 30 S/PKI" ialah :
a.mereka yang menunjukkan sikap, baik dalam perbuatan ataupun dalam ucapan yang bersifat menyetujui "G 30 S/PKI";
b.mereka yang secara sadar menunjukkan sikap, baik dalam perbuatan ataupun ucapan, yang menentang usaha penumpasan "G 30 S/PKI". Yang dimaksud dengan "organisasi terlarang" ialah organisasi yang tegas-tegas dinyatakan terlarang dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak berlaku bagi mereka yang telah mendapat amnesti, abolisi atau grasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas. Pasal 2
Cukup jelas. Pasal 3
Cukup jelas. Pasal 4
Pengertian Warga Negara Republik Indonesia meliputi pula anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Pasal 5
Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7
Cukup jelas. Pasal 8
Cukup jelas. Pasal 9
Dalam penyelenggaraan referendum, untuk tiap tingkat daerah, ditetapkan nama dan susunan organisasi Panitia Pelaksana *5585 Referendum dan Panitia Pengawas Referendum masing-masing, yang disesuaikan dengan fungsi dan tugas panitia untuk tiap tingkat daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan referendum fungsi dan tugas pokok Panitia Pelaksana Referendum adalah menyelenggarakan pemungutan pendapat rakyat dan penghitungan pendapat rakyat di tempat pemungutan pendapat rakyat, yang sesuai dengan ketentuan Pasal 14 menjadi tugas Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Kecamatan dan di Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Fungsi dan tugas pokok Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya adalah memimpin dan mengawasi, sedangkan Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Kelurahan/Desa adalah membantu Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Kecamatan, khususnya dalam penyusunan Daftar Pemberi Pendapat Rakyat. Sesuai dengan fungsi dan tugas Panitia Pelaksana Referendum tersebut, maka Panitia Pengawas Referendum secara fungsional dan organik termasuk dalam Panitia Pelaksana Referendum, dan hanya ada di tingkat Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan Kecamatan. Pasal 10
Cukup jelas. Pasal 11
Cukup jelas. Pasal 12
Cukup jelas. Pasal 13
Cukup jelas. Pasal 14
Cukup jelas. Pasal 15
Cukup jelas. Pasal 16
Cukup jelas. Pasal 17
Cukup jelas. Pasal 18
Cukup jelas. Pasal 19
Laporan Presiden sebagaimana dimaksud dalam pasal ini disampaikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam Sidang Istimewa yang khusus diadakan untuk itu. Pasal 20
Cukup jelas. Pasal 21
Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23
Cukup jelas. Pasal 24
Cukup jelas. Pasal 25
Cukup jelas. Pasal 26
Cukup jelas. Pasal 27


B.Ratifikasi Indonesia Atas Konvensi HAM
a.       Ratifikasi HAM dalam bidang politik

1.      Konvensi Jenewa 1949 tentang peraturan atau norma-norma dalam kondisi perang, diratifiksi oleh Indonesia pada 30 September 1958.

Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi tersebut, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka. Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonnesia dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih merupakan  Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di mata dunia yang masih sangat rendah
kala itu dapat diamankan dengan ratifikasi yang dilakukan Indonesia dalam hal ini agar Negara-negara kolonial dapat lebih berhati-hati dalam membuat kebijakan luar negerinya yang dapat memicu konflik dengan Indonesia.
Lebih jauh di dalam perjanjian tersebut disebutkan meskipun salah satu dari Negara-negara dalam pertikaian mungkin bukan peserta dalam konvensi, Negara-negara yang menjadi anggota konvensi ini akan sama terikatnya di dalam hubungan antar mereka. Mereka selanjutnya terikat oleh konvensi ini dalam hubungan dengan Negara bukan peserta, apabila Negara yang tersebut kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan konvensi ini. Dengan pernyataan tersebut, Indonesia dapat meloloskan kepentingan nasionalnya dalam hal keamanan karena kondisi dunia pada masa tersebut yang relative belum stabil dan kemungkinan-kemungkinan akan pecahnya konflik bersenjata yang member dampak buruk terhadap Indonesia. Perjanjian tersebut sedikit banyak dapat dimasukkan ke dalam ratifikasi HAM Indonesia dalam bidang politik. Karena di dalamnya termuuat Hak Asasi Indonesia sebagaii Negara, serta hak-hak yang dimiliki setiap warga masyarakat yang bernaung di dalamnya.
Dari analisa diatas, kita dapat melihat bahwa motivasi Indonesia untuk melakukan ratifikasi sejatinya bertolak dari kepentingan nasional Indonesia itu sendiri. Namun dewasa ini, dengan melihat berbagai peristiwa yang terjadi, agaknya ratifikasi tersebut belum cukup untuk menggambarkan penanganan HAM di level domestik Indonesia. Mengapa? Alasan yang paling mungkin terlihat ialah bagaimana dalam berbagai konflik internal yang terjadi di tanah air, nilai-nilai yang terdapat dalam perjanjian tersebut belum mampu diadaptasi oleh pemerintah Indonnesia. Masih ditemukan begitu banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia di dalamnya. Contohnya yang terjadi di Timor-Timur dan Aceh. Hal ini seharusnya mampu dihindari pemerintah karena dapat memberi citra buruk terhadap dunia internasional atau bahkan mendapat sanksi internasional.

2.      Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik diratifikasi dengan penetapan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 Tahun 2005
Diantaranya memuat (a) hak untuk hidup (rights to life); (b) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (c) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (d) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (e) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (f) hak sebagai subjek hukum; (g) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama.
Kemudian hak yang dibatasi, yaitu: (a) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (b) hak atas kebebasan berserikat; termasuk membentuk dan menjadi anggota sarekat buruh; dan (c) hak atas menyatakan kebebasan menyatakan pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan maupun tulisan). Hak-hak ini hanya dapat dibatasi tanpa diskriminasi dengan alasan: (a) Menjaga ketertiban umum, moralitas umum, kesehatan atau keamanan nasional; dan (b) menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Dari poin yang tercantum dalam ratifikasi tersebut, dapat dilihat bahwa Indonesia sejatinya mengemban dua kepentingan sekaligus. Yaitu sebagai “politik HAM” dalam hal ini pencitraan, juga sebagai solusi untuk memperbaiki sejarah yang buruk akan penegakan HAM di tanah air.
Pemerintah dalam hal ini SBY yang berkuasa pada masa itu merasa Indonesia perlu mengambil momentum untuk pemulihan nama baik Indonesia dalam kancah Internasional.
Namun yang sangat disesalkaan adalah ketika ratifikasi tersebut agaknya belum mampu terimplementasi dengan maksimal. Indikatornya dapat terlihat dari berbagai kasus pelanggaran HAM khususnya hak-hak sipil yang justru kian menjamur di Indonesia pasca ratifikasi. Tindak kekerasan serta konflik horizontal, kecurangan-kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu, mandeknya persidangan kasus pelanggaran HAM serta berbagai pelanggaran lainnya relatif mampu memperparah citra buruk penegakan HAM di Indonesia.

3.      Undang-undang nomor 68/1958 yang meratifikasi konvensi tentang hak-hak Politik Perempuan. Diratifikasi pada 17 Juli 1958
Perkembangan tentang isu kesetaraan gender khususnya dalam bidang politik telah cukup menunjukkan peningkatan yang signifiikan. Dalam ratifikasi ini, pemerintah Indonesia terlihat cukup serius dalam pengimplementasiannya sehingga proses ratifikasi tersebut tidak semata menjadi ajang pencitraan. Hal tersebut dapat dilihat dari program serta kebijakan pemerintah antara lain dengan pembentukan komnas perlindungan perempuan. Kebijakan yang paling terlihat ialah terhadap quota keterwakilan perempuan di kabinet yang ditetapkan pemerintah dan membuktikan komitmennya untuk memprioritaskan hak-hak politik perempuan.


b.      Ratifikasi HAM terhadap bidang Ekonomi, Sosial, Budaya

1.      UU RI No. 29 tahun 1999 tentang pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial 1965)
Motivasi ratifikasi ini relatif mengarah pada pencitraan Indonesia di panggung perpolitikan dunia. Indonesia yang memang terkenal dengan rasnya yang begitu heterogen disamping berbagai konflik etnis yang mungkin terjadi tentu saja akan dianggap telah cukup mampu  membangun semangat persatuan dalam sederet etnis yang terdapat di dalamnya. Namun amat disayangkan, Indonesia sepertinya terbuai dengan predikat Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri tanpa melakukan evaluasi mengenai pemerataan keadilan yang terjadi di Indonesia. Ketimpangan pemerataan pembangunan antara pulau Jawa dengan wilayah-wilayah lainnya khususnya wilayah Timur Indonesia masih menjadi suatu fakta yang amat miris untuk diketahui.

2.      Convention On The Rights Of The Childs diratifikasi Indonesia pada tahun 2005 melalui Kepres No. 36/1990
Dengan ratifikasi ini, pemerintah kemungkinan berharap agar kondisi hak anak-anak di Indonesia menjadi lebih baik. Namun dalam pelaksanaannya ratifikasi ini belum sepenuhnya terlepas dari “politik HAM” yang ingin dikonstruksikan Indonesia. Terbukti dengan belum mampunya Negara ini untuk meminimalisir kekerasan terhadap anak. Namun pembentukan komisi nasional perlindungan anak cukup pantas mendapat apresiasi meski belum menunjukkan kinerja yang maksimal.

3.      Ratifikasi kovenan Internasioanal tentang Hak-hak EKOSOB (International Covenant on Economic, social, and Cultural Right) pada Oktober 2005. Ratifikasi ini ditandai dengan terbitnya UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic, Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya).
Pada bagian kedua kita dapat melihat bagaimana politik HAM masih terselip disana. Bagian Kedua memuat kewajiban negara untuk melakukan semua langkah yang diperlukan dengan berdasar pada sumber daya yang ada. Hal tersebut bertentangan dengan pemerintah yang dapat dikatakan belum mampu memaksimalkan sumber daya yang ada baik alam maupun manusia sebesar-besar untuk kemakmuran Negara. Begitu pula pada bagian hak yang paling mendasar sebagai basis terpenuhinya Hak-hak EKOSOB, yakni Hak atas Pendidikan dan Kesehatan. Indonesia masih cenderung lemah disana. Kepastian terpenuhinya jaminan kesehatan masyarakat miskin masih amat minim dan pendidikan juga masih menetapkan standar yang belum terjangkau oleh rakyat miskin.

Analisa yang dapat diambil atas ratifikasi HAM yang dilakukan Indonesia baik dalam bidang politik maupun ekonomi, social dan budaya sejatinya belum dapat sepenuhnya lepas dari politik pencitraan Indonesia di mata Internasional. Indonesia terkesan terlalu ingin memperbaiki citra buruk penegakan HAM di dalam negeri. Meski praktek yang ditemukan di Indonesia sangat berbeda dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam ratifikasi, namun dengan ikutnya Indonesia meratifikasi perjanjian secara tidak langsung akan menumbuhkan citra bahwa Indonesia setuju serta serius untuk menerapkannya dalam setiap kebijakan domestik.
Indonesia juga sangat lemah dalam melakukan pencapaian terhadap ratifikasi konvenan lain yang sangat pentiing seperti mengenai konflik internal dan berbagai hak politik lainnya. Hal tersebut mengindikasikan pemerintah yang kemungkinan belum siap untuk menerima dampak dari ratifikasi tersebut terhadap kepentingan pemerintah itu sendiri dalam tata kelola negara.