A. UU 5/1985, REFERENDUM
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang : bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat berketetapan untuk mempertahankan Undang-Undang Dasar
1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya,
sebagaimana dinyatakan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum, namun untuk melaksanakan Pasal
3 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/
MPR/1983 tentang Referendum, perlu dibentuk Undang-undang yang mengatur
referendum;
Mengingat :
1.Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat
(1) Undang-Undang Dasar 1945;
2.Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK
INDONESIA,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG REFERENDUM.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang
ini dengan :
a.Referendum adalah kegiatan untuk
meminta pendapat rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak setuju
terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang
Dasar 1945;
b.Pendapat rakyat adalah pernyataan oleh Pemberi Pendapat Rakyat;
c.Pemberi Pendapat Rakyat adalah Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang *5576 ini.
b.Pendapat rakyat adalah pernyataan oleh Pemberi Pendapat Rakyat;
c.Pemberi Pendapat Rakyat adalah Warga Negara Republik Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-undang *5576 ini.
Pasal 2
Referendum diadakan apabila Majelis
Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945
sebagaimana dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan, Rakyat Republik
Indonesia Nomor IV/ MPR/1983.
Pasal 3
(1)Referendum diselenggarakan dengan
mengadakan pemungutan pendapat rakyat secara langsung, umum, bebas, dan
rahasia. (2)Pemungutan pendapat rakyat dilakukan dengan menggunakan surat
pendapat rakyat.
Pasal 4
Semua Warga Negara Republik
Indonesia yang memenuhi persyaratan, sebagaimana ditetapkan dalam Undang-undang
ini, mempunyai hak memberikan pendapat rakyat.
BAB II DAERAH REFERENDUM,
PENYELENGGARAAN/ PELAKSANAAN, DAN ORGANISASI PENYELENGGARA/PELAKSANA REFERENDUM
Pasal 5
(1)Daerah referendum adalah wilayah
Negara Republik Indonesia. (2)Tempat/gedung Perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri termasuk daerah referendum.
Pasal 6
Referendum diselenggarakan dalam
waktu selama-lamanya 1 (satu) tahun terhitung sejak dimulainya pendaftaran
Pemberi Pendapat Rakyat sampai dengan penyampaian hasil referendum kepada
Presiden sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 7
Pemungutan pendapat rakyat
dilaksanakan dalam 1 (satu) hari dan serentak di seluruh wilayah Negara Repubhk
Indonesia.
Pasal 8
(1)Pelaksanan referendum dipimpin
oleh Presiden.
(2)Presiden menunjuk atau membentuk
suatu badan atau lembaga untuk melaksanakan referendum, yang dipimpin oleh
Menteri Dalam Negeri.
Pasal 9
(1)Untuk melaksanakan referendum
dibentuk Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Propinsi, Kabupaten/Kotamadya,
Kecamatan, Kelurahan/ Desa, dan di Perwakilan Republik Indonesia di luar
negeri.
*5577 (2)Gubernur,
Bupati/Walikotamadya, Camat, Lurah/Kepala Desa, dan Kepala Perwakilan Republik
Indonesia di luar negeri karena jabatannya masing-masing menjadi Ketua Panitia
Pelaksana Referendum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)Panitia Pelaksana Referendum
terdiri dari unsur Pemerintah.
(4)Pada Panitia Pelaksana Referendum
dibentuk Panitia Pengawas Referendum.
(5)Susunan, tugas, fungsi, tata
kerja, dan hal-hal lain mengenai Panitia Pelaksana Referendum dan Panitia
Pengawas Referendum diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III HAK MEMBERIKAN PENDAPAT
RAKYAT DAN PENDAFTARAN PEMBERI PENDAPAT RAKYAT
Pasal 10
Semua Warga Negara Republik
Indonesia yang pada waktu pendaftaran Pemberi Pendapat Rakyat sudah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin adalah Pemberi Pendapat
Rakyat, yang mempunyai hak memberikan pendapat rakyat.
Pasal 11
(1)Untuk dapat menggunakan hak
memberikan pendapat rakyat, seorang Pemberi Pendapat Rakyat harus terdaftar
dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat.
(2)Untuk dapat didaftar dalam Daftar
Pemberi Pendapat Rakyat, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.bukan bekas anggota organisasi
terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan
seseorang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam "G 30
S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya;
b.nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya;
c.tidak sedang dicabut hak pilihnya
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3)Seorang Pemberi Pendapat Rakyat
yang setelah terdaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat ternyata tidak lagi
memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), tidak dapat menggunakan
hak memberikan pendapat rakyat.
(4)Warga Negara Republik Indonesia
bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk
organisasi massanya atau seseorang yang terlibat langsung ataupun tidak
langsung dalam "G 30 S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya, tidak
didaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat, kecuali apabila Pemerintah
mempertimbangkan penggunaan haknya memberikan pendapat rakyat, yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 12
*5578 (1)Pemberi Pendapat Rakyat
didaftar oleh Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Kelurahan/Desa.
(2)Daftar Pemberi Pendapat Rakyat
disusun untuk tiap Kelurahan/Desa dan memuat nama-nama Pemberi Pendapat Rakyat
yang bertempat tinggal di Kelurahan/Desa yang bersangkutan.
(3)Pemberi Pendapat Rakyat yang
bertempat tinggal di luar negeri didaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat
di tempat kedudukan Perwakilan Republik Indonesia.
(4)Seorang Pemberi Pendapat Rakyat
hanya dapat didaftar dalam satu Daftar Pemberi Pendapat Rakyat untuk
Kelurahan/Desa dimana ia bertempat tinggal, dan jika seorang Pemberi Pendapat
Rakyat mempunyai lebih dari satu tempat tinggal, maka yang bersangkutan harus
memilih satu di antaranya untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang pasti
untuk didaftar sebagai Pemberi Pendapat Rakyat.
(5)Tata cara pelaksanaan pendaftaran
dan penyusunan Daftar Pemberi Pendapat Rakyat diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB IV PENERANGAN REFERENDUM
Pasal 13
(1)Sebelum dilakukan pemungutan
pendapat rakyat, kepada seluruh rakyat diberikan penerangan seluas-luasnya
mengenai penyelenggaraan referendum.
(2)Segala sesuatu mengenai
penyelenggaraan penerangan referendum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB V PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN
PENDAPAT RAKYAT
Pasal 14
(1)Tiap wilayah Kecamatan yang
menjadi wilayah kerja Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Kecamatan, merupakan
daerah pemungutan pendapat rakyat.
(2)Pemungutan pendapat rakyat dalam
daerah pemungutan pendapat rakyat dilakukan di tempat pemungutan pendapat
rakyat yang jumlah dan letaknya ditentukan oleh Panitia Pelaksana Referendum di
tingkat Kecamatan dengan memperhatikan tempat tinggal Pemberi Pendapat Rakyat
yang telah terdaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat sehingga pemungutan
pendapat rakyat dapat dilaksanakan secara mudah dan lancar.
(3)Pemungutan pendapat rakyat di
luar negeri diadakan di tempat/gedung Perwakilan Republik Indonesia dan
dilakukan pada tanggal yang sama sesuai dengan pemungutan pendapat rakyat di
dalam negeri.
(4)Tempat pemungutan pendapat rakyat
diatur sedemikian rupa sehingga bagi Pemberi Pendapat Rakyat ada jaminan untuk
dapat menggunakan hak memberikan pendapat rakyat secara bebas dan *5579
rahasia.
(5)Untuk pemungutan pendapat rakyat
digunakan surat pendapat rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2),
yang bentuk, isi, dan hal-hal lain mengenai surat pendapat rakyat diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
(6)Dalam pemungutan pendapat rakyat,
Pemberi Pendapat Rakyat membubuhkan tanda pada surat pendapat rakyat untuk
menyatakan setuju atau tidak setuju terhadap kehendak Majelis Pennusyawaratan
Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 15
Pelaksanaan pemungutan pendapat
rakyat di tempat pemungutan pendapat rakyat diawasi oleh saksi-saksi.
Pasal 16
(1)Segera setelah pemungutan
pendapat rakyat berakhir, di tempat pemungutan pendapat rakyat diadakan
penghitungan pendapat rakyat. (2)Pemberi Pendapat Rakyat boleh hadir untuk
mengikuti pelaksanaan penghitungan pendapat rakyat.
(3)Hasil penghitungan pendapat
rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada badan atau
lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) melalui jenjang Panitia
Pelaksana Referendum, setelah diadakan penjumlahan hasil penghitungan pendapat
rakyat oleh Panitia Pelaksana Referendum di tiap tingkat wilayah kerjanya
masing-masing.
(4)Hasil penghitungan pendapat
rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dijumlah untuk seluruh daerah
referendum, terperinci menurut wilayah kerja Panitia Pelaksana Referendum di
tingkat Propinsi, Kabupaten/Kotamadya, dan di Perwakilan Republik Indonesia di
luar negeri.
(5)Tata cara serta hal-hal lain
mengenai pemungutan dan penghitungan pendapat rakyat diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
BAB VI PENETAPAN HASIL REFERENDUM
DAN LAPORAN KEPADA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Pasal 17
(1)Hasil penghitungan pendapat
rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, ayat (4) ditetapkan sebagai hasil
referendum.
(2)Hasil referendum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) oleh Menteri Dalam Negeri selaku pimpinan badan atau
lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) disampaikan kepada Presiden
selaku pimpinan pelaksanaan referendum.
(3)Tata cara penetapan hasil
referendum diatur dengan Peraturan Pemerintah.
*5580 Pasal 18
Rakyat dinyatakan menyetujui
kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar
1945, apabila hasil referendum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 menunjukkan
bahwa :
a.sekurang-kurangnya 90% (sembilan
puluh persen) dari jumlah Pemberi Pendapat Rakyat yang terdaftar telah
menggunakan haknya memberikan pendapat rakyat, dan
b.sekurang-kurangnya 90% (sembilan puluh persen) dari Pemberi Pendapat Rakyat yang menggunakan haknya tersebut menyatakan setuju terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 19
Presiden melaporkan hasil referendum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
BAB VII KETENTUAN PIDANA
Pasal 20
(1)Barang siapa dengan sengaja
memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang
lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian Daftar Pemberi Pendapat
Rakyat, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya satu tahun.
(2)Barang siapa meniru atau memalsu
suatu surat, yang menurut suatu aturan dalam Undang-undang ini diperlukan untuk
menjalankan suatu perbuatan dalam penyelenggaraan referendum, dengan maksud
untuk dipergunakan sendiri atau oleh orang lain sebagai surat sah dan tidak
dipalsukan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
(3)Barang siapa dengan sengaja dengan
mengetahui bahwa suatu surat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) adalah tidak
sah atau dipalsukan, mempergunakannya atau menyuruh orang lain mempergunakannya
sebagai surat yang sah dan tidak dipalsukan, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun.
(4)Barang siapa pada waktu
diselenggarakan referendum menurut Undang-undang ini dengan pemberian atau
janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk
memberikan pendapat rakyat maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara
tertentu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tiga tahun. Pidana itu
dikenakan juga kepada Pemberi Pendapat Rakyat yang karena menerima suap berupa
pemberian atau janji berbuat sesuatu.
(5)Barang siapa pada waktu
diselenggarakan referendum menurut Undang-undang ini melakukan suatu perbuatan
tipu muslimat yang menyebabkan pendapat rakyat seorang Pemberi Pendapat Rakyat
menjadi tidak berharga, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya tiga
tahun.
*5581 (6)Barang siapa dengan sengaja
menggunakan hak memberikan pendapat rakyat menurut Undang-undang ini dengan
mengaku dirinya sebagai orang lain, dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya lima tahun.
(7)Barang siapa menggunakan hak
memberikan pendapat rakyat lebih dari pada yang ditetapkan menurut
Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
(8)Barang siapa dengan sengaja
mengacaukan, menghalang-halangi, atau mengganggu penyelenggaraan referendum
menurut Undang-undang ini, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima
tahun.
(9)Barang siapa pada waktu
dilaksanakan pemungutan pendapat rakyat menurut Undang-undang ini dengan
sengaja dan dengan kekerasan atau dengan ancaman kekerasan, menghalang-halangi
seseorang akan menggunakan haknya dengan bebas dan rahasia serta tidak
terganggu, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
(10)Barang siapa pada waktu
diselenggarakan referendum menurut Undang-undang ini dengan sengaja
menggagalkan pemungutan pendapat rakyat yang telah dilakukan, atau melakukan
suatu perbuatan tipu muslihat, yang menyebabkan hasil pemungutan pendapat
rakyat itu menjadi lain daripada yang harus dinyatakan sah, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya lima tahun.
(11)Dalam menjatuhkan pidana atas
perbuatan-perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3),
surat-surat yang dipergunakan dalam tindak pidana itu, beserta benda-benda dan
barang-barang yang menurut sifatnya diperuntukkan guna meniru atau memalsu
surat-surat itu, dirampas dan dimusnahkan, juga kalau surat-surat, benda-benda
atau barang-barang itu bukan kepunyaan terpidana.
Pasal 21
(1)Seorang majikan yang tidak
memberikan kesempatan kepada seorang pekerjanya untuk menggunakan hak
memberikan pendapat rakyat tanpa alasan bahwa pekerjaan daripada pekerja itu
tidak memungkinkan, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya tiga bulan.
(2)Seorang penyelenggara referendum
yang melalaikan kewajibannya, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya
tiga bulan atau pidana denda setinggi-tingginya lima belas ribu rupiah.
Pasal 22
(1)Tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 20 adalah kejahatan.
(2)Tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam pasal 21 adalah pelanggaran.
BAB VIII KETENTUAN LAIN-LAIN
*5582 Pasal 23
Apabila di suatu tempat di dalam
daerah referendum, sesudah diadakan penelitian dan pemeriksaan ternyata
terdapat kekeliruan, kesalahan, atau hal-hal lain dalam pemungutan pendapat
rakyat yang mengakibatkan tidak dapat dilakukan penghitungan pendapat rakyat,
maka Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Propinsi, Kabupaten/Kotamadya yang
bersangkutan dengan dikuatkan oleh instansi Pemerintah setempat, dan di
Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, dapat mengadakan pemungutan
pendapat rakyat ulangan di tempat yang bersangkutan dengan mengingat ketentuan
batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
Pasal 24
Apabila di suatu tempat di dalam
daerah referendum tidak dapat diselenggarakan referendum atau
penyelenggaraannya terhenti disebabkan oleh keadaan yang memaksa, maka sesudah
keadaan memungkinkan, segera diadakan referendum ulangan atau referendum
susulan di tempat yang bersangkutan dengan mengingat ketentuan batas waktu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 25
Pelaksanaan Undang-undang ini diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26
Undang-undang ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 18
Maret 1985 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal
18 Maret 1985 MENTERI/SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1985 TENTANG REFERENDUM *5583 UMUM
Undang-Undang Dasar 1945, yang dalam
Pembukaan memuat Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa, Dasar Negara, dan
Ideologi Nasional, harus dipertahankan dan dilaksanakan secara murni dan
konsekuen. Kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa Undang-Undang Dasar 1945,
yang memiliki dan memberikan landasan idiil yang luhur, landasan struktural
yang kokoh yang menjamin stabilitas pemerintahan, serta memiliki dan memberikan
landasan operasional yang memberikan pengarahan yang dinamis dalam berbagai
bidang kehidupan, mampu menghadapi tantangan dan memenuhi kebutuhan bangsa
Indonesia. Sehubungan dengan itu bangsa Indonesia telah menetapkan sikap dan
tekad mempertahankan dan melestarikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Dasar 1945 sendiri memungkinkan diadakan perubahan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 37. Mengubah Undang-Undang Dasar 1945 merupakan masalah
yang mendasar dan menyangkut kehidupan negara dan bangsa Indonesia. Walaupun
Majelis Permusyawaratan Rakyat mempunyai hak melaksanakan sepenuhnya kedaulatan
rakyat, namun perlu dicarikan sarana yang konstitusional agar Pasal 37
Undang-Undang Dasar 1945 tidak mudah digunakan dan rakyat harus dijamin haknya
untuk menyatakan pendapat mengenai soal kenegaraan yang sifatnya mendasar
tersebut, yaitu melalui referendum. Berhubung dengan hal-hal tersebut di atas
apabila Majelis Permusyawaratan Rakyat berkehendak untuk mengubah Undang-Undang
Dasar 1945 dengan memenuhi ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/1983 dan Nomor
IV/MPR/ 1983, maka hal itu harus ditanyakan terlebih dahulu kepada rakyat
melalui referendum yang diatur dalam Undang-undang ini. Referendum bertujuan
untuk menanyakan kepada rakyat secara langsung mengenai setuju atau tidak
setuju terhadap kehendak Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk mengubah
Undang-Undang Dasar 1945. Referendum diselenggarakan secara langsung, umum,
bebas, dan rahasia, didahului dengan penerangan yang seluas-luasnya menyangkut
maksud dan tujuan diadakan referendum serta hal-hal teknis pelaksanaannya. Yang
dimaksud dengan : aLangsung : Warga Negara Republik Indonesia yang mempunyai
hak memberikan pendapat rakyat dapat menggunakan haknya secara langsung tanpa
melalui pihak lain dan tanpa perantara maupun tingkatan.
b.Umum: Warga Negara Republik Indonesia yang pada waktu diadakan referendum telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin berhak memberikan pendapat rakyat.
c.Bebas : Warga Negara Republik Indonesia dalam menggunakan hak memberikan pendapat rakyat dijamin keamanannya untuk tidak mendapat tekanan, paksaan, gangguan, atau pengaruh dari siapapun dan dengan cara apapun juga.
d.Rahasia: Untuk dapat menggunakan hak memberikan pendapat rakyat secara bebas, setiap Warga Negara Republik Indonesia dijamin menggunakan haknya secara rahasia dalam arti tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara bagaimanapun mengenai isi pendapat rakyat yang diberikannya sesuai dengan hati nuraninya. *5584 Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai warga negara, dalam referendum mempunyai hak memberikan pendapat rakyat. Hak memberikan pendapat rakyat bagi Pemberi Pendapat Rakyat anggota ABRI digunakan sebagaimana mestinya seperti halnya dengan Warga negara Republik Indonesia yang mempunyai hak memberikan pendapat rakyat. Dengan demikian anggota ABRI didaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemungutan pendapat rakyat. Warga Negara Republik Indonesia bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam "G 30 S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya tidak dapat menggunakan haknya memberikan pendapat rakyat dalam referendum, dan mereka tidak didaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat, kecuali apabila Pemerintah melalui penelitian dan penilaian secara perorangan, selektif, dan cermat telah mempertimbangkan penggunaan haknya memberikan pendapat rakyat dalam referendum, yang tata caranya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan "terlibat langsung" dalam "G 30 S/PKI" ialah:
b.Umum: Warga Negara Republik Indonesia yang pada waktu diadakan referendum telah berusia 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin berhak memberikan pendapat rakyat.
c.Bebas : Warga Negara Republik Indonesia dalam menggunakan hak memberikan pendapat rakyat dijamin keamanannya untuk tidak mendapat tekanan, paksaan, gangguan, atau pengaruh dari siapapun dan dengan cara apapun juga.
d.Rahasia: Untuk dapat menggunakan hak memberikan pendapat rakyat secara bebas, setiap Warga Negara Republik Indonesia dijamin menggunakan haknya secara rahasia dalam arti tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara bagaimanapun mengenai isi pendapat rakyat yang diberikannya sesuai dengan hati nuraninya. *5584 Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai warga negara, dalam referendum mempunyai hak memberikan pendapat rakyat. Hak memberikan pendapat rakyat bagi Pemberi Pendapat Rakyat anggota ABRI digunakan sebagaimana mestinya seperti halnya dengan Warga negara Republik Indonesia yang mempunyai hak memberikan pendapat rakyat. Dengan demikian anggota ABRI didaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemungutan pendapat rakyat. Warga Negara Republik Indonesia bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam "G 30 S/PKI" atau organisasi terlarang lainnya tidak dapat menggunakan haknya memberikan pendapat rakyat dalam referendum, dan mereka tidak didaftar dalam Daftar Pemberi Pendapat Rakyat, kecuali apabila Pemerintah melalui penelitian dan penilaian secara perorangan, selektif, dan cermat telah mempertimbangkan penggunaan haknya memberikan pendapat rakyat dalam referendum, yang tata caranya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan "terlibat langsung" dalam "G 30 S/PKI" ialah:
a.mereka yang merencanakan, turut
merencanakan atau mengetahui adanya perencanaan "G 30 S/PKI", tetapi
tidak melaporkan kepada yang berwajib;
b.mereka yang dengan kesadaran akan tujuannya, melakukan kegiatan-kegiatan dalam melaksanakan "G 30 S/PKI". Yang dimaksud dengan "terlibat tidak langsung" dalam "G 30 S/PKI" ialah :
b.mereka yang dengan kesadaran akan tujuannya, melakukan kegiatan-kegiatan dalam melaksanakan "G 30 S/PKI". Yang dimaksud dengan "terlibat tidak langsung" dalam "G 30 S/PKI" ialah :
a.mereka yang menunjukkan sikap,
baik dalam perbuatan ataupun dalam ucapan yang bersifat menyetujui "G 30
S/PKI";
b.mereka yang secara sadar menunjukkan sikap, baik dalam perbuatan ataupun ucapan, yang menentang usaha penumpasan "G 30 S/PKI". Yang dimaksud dengan "organisasi terlarang" ialah organisasi yang tegas-tegas dinyatakan terlarang dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak berlaku bagi mereka yang telah mendapat amnesti, abolisi atau grasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.mereka yang secara sadar menunjukkan sikap, baik dalam perbuatan ataupun ucapan, yang menentang usaha penumpasan "G 30 S/PKI". Yang dimaksud dengan "organisasi terlarang" ialah organisasi yang tegas-tegas dinyatakan terlarang dengan peraturan perundang-undangan. Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak berlaku bagi mereka yang telah mendapat amnesti, abolisi atau grasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas. Pasal 2
Cukup jelas. Pasal 3
Cukup jelas. Pasal 4
Pengertian Warga Negara Republik
Indonesia meliputi pula anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
Pasal 5
Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas. Pasal 8
Cukup jelas. Pasal 9
Dalam penyelenggaraan referendum,
untuk tiap tingkat daerah, ditetapkan nama dan susunan organisasi Panitia
Pelaksana *5585 Referendum dan Panitia Pengawas Referendum masing-masing, yang
disesuaikan dengan fungsi dan tugas panitia untuk tiap tingkat daerah yang
bersangkutan. Dalam penyelenggaraan referendum fungsi dan tugas pokok Panitia
Pelaksana Referendum adalah menyelenggarakan pemungutan pendapat rakyat dan
penghitungan pendapat rakyat di tempat pemungutan pendapat rakyat, yang sesuai
dengan ketentuan Pasal 14 menjadi tugas Panitia Pelaksana Referendum di tingkat
Kecamatan dan di Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Fungsi dan tugas
pokok Panitia Pelaksana Referendum di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya
adalah memimpin dan mengawasi, sedangkan Panitia Pelaksana Referendum di
tingkat Kelurahan/Desa adalah membantu Panitia Pelaksana Referendum di tingkat
Kecamatan, khususnya dalam penyusunan Daftar Pemberi Pendapat Rakyat. Sesuai
dengan fungsi dan tugas Panitia Pelaksana Referendum tersebut, maka Panitia
Pengawas Referendum secara fungsional dan organik termasuk dalam Panitia
Pelaksana Referendum, dan hanya ada di tingkat Propinsi, Kabupaten/Kotamadya,
dan Kecamatan. Pasal 10
Cukup jelas. Pasal 11
Cukup jelas. Pasal 12
Cukup jelas. Pasal 13
Cukup jelas. Pasal 14
Cukup jelas. Pasal 15
Cukup jelas. Pasal 16
Cukup jelas. Pasal 17
Cukup jelas. Pasal 18
Cukup jelas. Pasal 19
Laporan Presiden sebagaimana
dimaksud dalam pasal ini disampaikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
dalam Sidang Istimewa yang khusus diadakan untuk itu. Pasal 20
Cukup jelas. Pasal 21
Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas. Pasal 24
Cukup jelas. Pasal 25
Cukup jelas. Pasal 26
Cukup jelas. Pasal 27
B.Ratifikasi Indonesia Atas Konvensi HAM
a. Ratifikasi HAM dalam bidang politik
1. Konvensi Jenewa 1949 tentang
peraturan atau norma-norma dalam kondisi perang, diratifiksi oleh Indonesia
pada 30 September 1958.
Saat Indonesia melakukan ratifiksi terhadap hasil konvensi
tersebut, dapat dikatakan Indonesia masih merupakan Negara yang baru merdeka.
Fakta tersebut dengan jelas mengindikasikan kepentingan nasional Indonnesia
dalam isu yang diangkat dan disepakati dalam perjanjian tersebut. Contohnya
dalam perjanjian disebutkan bahwa butir kesepakatan yang tertuang dalam hukum
humaniter tersebut akan berlaku untuk semua peristiwa perang yang diumumkan
atau setiap peristiwa bersenjata lainnya. Sekalipun keadaan perang tidak diakui
oleh salah satu Negara yang berperang. Indonesia yang notabene masih
merupakan Negara kecil yang baru memulai transisi pasca penjajahan tentu
sangat diuntungkan oleh poin perjanjian tersebut. Posisi tawar Indonesia di
mata dunia yang masih sangat rendah
kala itu dapat diamankan dengan ratifikasi yang dilakukan
Indonesia dalam hal ini agar Negara-negara kolonial dapat lebih berhati-hati
dalam membuat kebijakan luar negerinya yang dapat memicu konflik dengan
Indonesia.
Lebih jauh di dalam perjanjian tersebut disebutkan meskipun
salah satu dari Negara-negara dalam pertikaian mungkin bukan peserta dalam
konvensi, Negara-negara yang menjadi anggota konvensi ini akan sama terikatnya
di dalam hubungan antar mereka. Mereka selanjutnya terikat oleh konvensi ini
dalam hubungan dengan Negara bukan peserta, apabila Negara yang tersebut
kemudian ini menerima dan melaksanakan ketentuan-ketentuan konvensi ini. Dengan
pernyataan tersebut, Indonesia dapat meloloskan kepentingan nasionalnya dalam
hal keamanan karena kondisi dunia pada masa tersebut yang relative belum stabil
dan kemungkinan-kemungkinan akan pecahnya konflik bersenjata yang member dampak
buruk terhadap Indonesia. Perjanjian tersebut sedikit banyak dapat dimasukkan
ke dalam ratifikasi HAM Indonesia dalam bidang politik. Karena di dalamnya
termuuat Hak Asasi Indonesia sebagaii Negara, serta hak-hak yang dimiliki
setiap warga masyarakat yang bernaung di dalamnya.
Dari analisa diatas, kita dapat melihat bahwa motivasi
Indonesia untuk melakukan ratifikasi sejatinya bertolak dari kepentingan
nasional Indonesia itu sendiri. Namun dewasa ini, dengan melihat berbagai
peristiwa yang terjadi, agaknya ratifikasi tersebut belum cukup untuk menggambarkan
penanganan HAM di level domestik Indonesia. Mengapa? Alasan yang paling mungkin
terlihat ialah bagaimana dalam berbagai konflik internal yang terjadi di tanah
air, nilai-nilai yang terdapat dalam perjanjian tersebut belum mampu diadaptasi
oleh pemerintah Indonnesia. Masih ditemukan begitu banyak kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia di dalamnya. Contohnya yang terjadi di Timor-Timur dan Aceh. Hal
ini seharusnya mampu dihindari pemerintah karena dapat memberi citra buruk
terhadap dunia internasional atau bahkan mendapat sanksi internasional.
2. Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik
diratifikasi dengan penetapan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 Tahun
2005
Diantaranya memuat (a) hak untuk hidup (rights to life);
(b) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (c) hak
bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (d) hak bebas
dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (e) hak bebas dari
pemidanaan yang berlaku surut; (f) hak sebagai subjek hukum; (g) hak atas
kebebasan berpikir, keyakinan dan agama.
Kemudian hak yang dibatasi, yaitu: (a) hak atas kebebasan
berkumpul secara damai; (b) hak atas kebebasan berserikat; termasuk membentuk
dan menjadi anggota sarekat buruh; dan (c) hak atas menyatakan kebebasan menyatakan
pendapat atau berekspresi; termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan
informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui
lisan maupun tulisan). Hak-hak ini hanya dapat dibatasi tanpa diskriminasi
dengan alasan: (a) Menjaga ketertiban umum, moralitas umum, kesehatan atau
keamanan nasional; dan (b) menghormati hak atau kebebasan orang lain.
Dari poin yang tercantum dalam ratifikasi tersebut, dapat
dilihat bahwa Indonesia sejatinya mengemban dua kepentingan sekaligus. Yaitu
sebagai “politik HAM” dalam hal ini pencitraan, juga sebagai solusi untuk
memperbaiki sejarah yang buruk akan penegakan HAM di tanah air.
Pemerintah dalam hal ini SBY yang berkuasa pada masa itu
merasa Indonesia perlu mengambil momentum untuk pemulihan nama baik Indonesia
dalam kancah Internasional.
Namun yang sangat disesalkaan adalah ketika ratifikasi
tersebut agaknya belum mampu terimplementasi dengan maksimal. Indikatornya
dapat terlihat dari berbagai kasus pelanggaran HAM khususnya hak-hak sipil yang
justru kian menjamur di Indonesia pasca ratifikasi. Tindak kekerasan serta
konflik horizontal, kecurangan-kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu,
mandeknya persidangan kasus pelanggaran HAM serta berbagai pelanggaran lainnya
relatif mampu memperparah citra buruk penegakan HAM di Indonesia.
3. Undang-undang nomor 68/1958 yang
meratifikasi konvensi tentang hak-hak Politik Perempuan. Diratifikasi pada 17
Juli 1958
Perkembangan tentang isu kesetaraan gender khususnya dalam
bidang politik telah cukup menunjukkan peningkatan yang signifiikan. Dalam
ratifikasi ini, pemerintah Indonesia terlihat cukup serius dalam
pengimplementasiannya sehingga proses ratifikasi tersebut tidak semata menjadi
ajang pencitraan. Hal tersebut dapat dilihat dari program serta kebijakan
pemerintah antara lain dengan pembentukan komnas perlindungan perempuan.
Kebijakan yang paling terlihat ialah terhadap quota keterwakilan perempuan di
kabinet yang ditetapkan pemerintah dan membuktikan komitmennya untuk
memprioritaskan hak-hak politik perempuan.
b. Ratifikasi HAM terhadap bidang
Ekonomi, Sosial, Budaya
1. UU RI No. 29 tahun 1999 tentang
pengesahan International Convention On The Elimination Of All Forms Of Racial
Discrimination 1965 (Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Rasial 1965)
Motivasi ratifikasi ini relatif mengarah pada pencitraan
Indonesia di panggung perpolitikan dunia. Indonesia yang memang terkenal dengan
rasnya yang begitu heterogen disamping berbagai konflik etnis yang mungkin
terjadi tentu saja akan dianggap telah cukup mampu membangun semangat
persatuan dalam sederet etnis yang terdapat di dalamnya. Namun amat
disayangkan, Indonesia sepertinya terbuai dengan predikat Bhinneka Tunggal Ika
itu sendiri tanpa melakukan evaluasi mengenai pemerataan keadilan yang terjadi
di Indonesia. Ketimpangan pemerataan pembangunan antara pulau Jawa dengan
wilayah-wilayah lainnya khususnya wilayah Timur Indonesia masih menjadi suatu
fakta yang amat miris untuk diketahui.
2. Convention On The Rights Of The
Childs diratifikasi Indonesia pada tahun 2005 melalui Kepres No. 36/1990
Dengan ratifikasi ini, pemerintah kemungkinan berharap agar
kondisi hak anak-anak di Indonesia menjadi lebih baik. Namun dalam
pelaksanaannya ratifikasi ini belum sepenuhnya terlepas dari “politik HAM” yang
ingin dikonstruksikan Indonesia. Terbukti dengan belum mampunya Negara ini
untuk meminimalisir kekerasan terhadap anak. Namun pembentukan komisi nasional
perlindungan anak cukup pantas mendapat apresiasi meski belum menunjukkan
kinerja yang maksimal.
3.
Ratifikasi kovenan Internasioanal
tentang Hak-hak EKOSOB (International Covenant on Economic, social, and
Cultural Right) pada Oktober 2005. Ratifikasi ini ditandai dengan terbitnya
UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Convenant on Economic,
Social and Cultural Right (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya).
Pada
bagian kedua kita dapat melihat bagaimana politik HAM masih terselip disana.
Bagian Kedua memuat kewajiban negara untuk melakukan semua langkah yang
diperlukan dengan berdasar pada sumber daya yang ada. Hal tersebut bertentangan
dengan pemerintah yang dapat dikatakan belum mampu memaksimalkan sumber daya
yang ada baik alam maupun manusia sebesar-besar untuk kemakmuran Negara. Begitu
pula pada bagian hak yang paling mendasar sebagai basis terpenuhinya Hak-hak
EKOSOB, yakni Hak atas Pendidikan dan Kesehatan. Indonesia masih cenderung
lemah disana. Kepastian terpenuhinya jaminan kesehatan masyarakat miskin masih
amat minim dan pendidikan juga masih menetapkan standar yang belum terjangkau
oleh rakyat miskin.
Analisa yang dapat diambil atas ratifikasi HAM yang
dilakukan Indonesia baik dalam bidang politik maupun ekonomi, social dan budaya
sejatinya belum dapat sepenuhnya lepas dari politik pencitraan Indonesia di
mata Internasional. Indonesia terkesan terlalu ingin memperbaiki citra buruk
penegakan HAM di dalam negeri. Meski praktek yang ditemukan di Indonesia sangat
berbeda dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam ratifikasi, namun dengan
ikutnya Indonesia meratifikasi perjanjian secara tidak langsung akan
menumbuhkan citra bahwa Indonesia setuju serta serius untuk menerapkannya dalam
setiap kebijakan domestik.
Indonesia juga sangat lemah dalam melakukan pencapaian
terhadap ratifikasi konvenan lain yang sangat pentiing seperti mengenai konflik
internal dan berbagai hak politik lainnya. Hal tersebut mengindikasikan
pemerintah yang kemungkinan belum siap untuk menerima dampak dari ratifikasi
tersebut terhadap kepentingan pemerintah itu sendiri dalam tata kelola negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar