Minggu, 16 November 2014

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2000 TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 129 TAHUN 2000

TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
  1. bahwa sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah;
  2. bahwa sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus dan digabung dengan Daerah lain dan sesuai dengan perkembangan Daerah, Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu Daerah;
  3. bahwa untuk menetapkan syarat-syarat dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b sesuai ketentuan yang berlaku perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Mengingat:
  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
  3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
  1. Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
  2. Daerah Otonom selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. Pembentukan Daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota;
  4. Pemekaran Daerah adalah pemecahan Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota menjadi lebih dari satu Daerah;
  5. Penghapusan Daerah adalah pencabutan status sebagai Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota;
  6. Penggabungan Daerah adalah penyatuan Daerah yang dihapus kepada Daerah lain;
  7. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah adalah forum konsultasi Otonomi Daerah di tingkat Pusat yang bertanggung jawab kepada Presiden.

BAB II
TUJUAN

Pasal 2
Pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui:
  1. peningkatan pelayanan kepada masyarakat;
  2. percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
  3. percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;
  4. percepatan pengelolaan potensi daerah;
  5. peningkatan keamanan dan ketertiban;
  6. peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.

BAB III
SYARAT-SYARAT PEMBENTUKAN DAERAH

Pasal 3
Daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut:
  1. kemampuan ekonomi;
  2. potensi daerah;
  3. sosial budaya;
  4. sosial politik;
  5. jumlah penduduk;
  6. luas daerah;
  7. pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.

Pasal 4
Kemampuan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari:
  1. produk domestik regional bruto (PDRB);
  2. penerimaan daerah sendiri.

Pasal 5
Potensi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, merupakan cerminan tersedianya sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari:
  1. lembaga keuangan;
  2. sarana ekonomi;
  3. sarana pendidikan;
  4. sarana kesehatan;
  5. sarana transportasi dan komunikasi;
  6. sarana pariwisata;
  7. ketenagakerjaan.

Pasal 6
Sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosial budaya masyarakat yang dapat diukur dari:
  1. tempat peribadatan;
  2. tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya;
  3. sarana olah raga.

Pasal 7
Sosial politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari:
  1. partisipasi masyarakat dalam berpolitik;
  2. organisasi kemasyarakatan.

Pasal 8
Jumlah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, merupakan jumlah tertentu penduduk suatu Daerah.

Pasal 9
Luas daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, merupakan luas tertentu suatu daerah.

Pasal 10
Pertimbangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g, merupakan pertimbangan untuk terselenggaranya Otonomi Daerah yang dapat diukur dari:
  1. keamanan dan ketertiban;
  2. ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan;
  3. rentang kendali;
  4. Propinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten dan atau Kota;
  5. Kabupaten yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan;
  6. Kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan.

Pasal 11
Cara pengukuran dan penilaian persyaratan pembentukan Daerah, dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 12
Usul pembentukan Daerah yang sudah memenuhi persyaratan dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

BAB IV
KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH

Pasal 13
(1)        Pemekaran Daerah dapat dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
  1. kemampuan ekonomi;
  2. potensi daerah;
  3. sosial budaya;
  4. sosial politik;
  5. jumlah penduduk;
  6. luas daerah;
  7. pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
(2)        Cara pengukuran dan penilaian kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama dengan cara pengukuran dan penilaian pembentukan Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 12.

Pasal 14
(1)        Penghapusan Daerah dilakukan apabila Daerah tidak mampu melaksanakan Otonomi Daerahnya;
(2)        Daerah yang dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digabungkan dengan Daerah lain;
(3)        Penghapusan dan penggabungan daerah mempertimbangkan kriteria sebagai berikut:
  1. kemampuan ekonomi;
  2. potensi daerah;
  3. sosial budaya;
  4. sosial politik;
  5. jumlah penduduk.

Pasal 15
Cara pengukuran dan penilaian penghapusan dan penggabungan Daerah dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.

BAB V
PROSEDUR PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH

Pasal 16
(1)        Prosedur Pembentukan Daerah sebagai berikut:
  1. ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan;
  2. pembentukan Daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah;
  3. usul pembentukan Propinsi disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah Propinsi dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
  4. usul pembentukan Kabupaten/Kota disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan DPRD Propinsi, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
  5. dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
  6. berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut;
  7. para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
  8. berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
  9. apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden;
  10. apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan.
(2)        Prosedur pemekaran Daerah sama dengan prosedur pembentukan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 17
(1)        Prosedur Penghapusan dan Penggabungan Daerah:
  1. usul penghapusan dan penggabungan Daerah Propinsi disampaikan oleh Gubernur dengan persetujuan DPRD Propinsi kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;
  2. usul penghapusan dan penggabungan Daerah Kabupaten/Kota disampaikan oleh Bupati/Walikota melalui Gubernur kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;
  3. sebelum suatu Daerah dihapus, masyarakat daerah tersebut diminta pendapatnya untuk bergabung dengan Daerah yang berdampingan dan yang diinginkan yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
  4. Daerah yang akan menerima penggabungan Daerah yang dihapus, Kepala Daerah dan DPRD membuat keputusan mengenai penerimaan Daerah yang dihapus ke dalam Daerahnya;
  5. dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
  6. berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut;
  7. para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
  8. berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul penghapusan dan penggabungan Daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
  9. apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul penghapusan dan penggabungan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul penghapusan dan penggabungan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Penghapusan dan Penggabungan Daerah kepada Presiden;
  10. apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan dan Penggabungan Daerah disampaikan kepada DPR RI untuk mendapatkan persetujuan.
(2)        Pemerintah atas inisiatif sendiri, berdasarkan hasil penelitian, menyarankan agar suatu Daerah dihapus dan digabungkan ke dalam wilayah Daerah lainnya.

BAB VI
PEMBIAYAAN

Pasal 18
(1)        Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, terhitung sejak diresmikannya pembentukan Propinsi yang baru dibentuk, pembiayaan yang diperlukan pada tahun pertama sebelum dapat disusun APBD Propinsi yang baru dibentuk, dibebankan kepada APBD Propinsi induk, berdasarkan hasil pendapatan yang diperoleh dari Propinsi yang baru dibentuk, APBD Kabupaten/Kota yang masuk dalam wilayah Propinsi yang baru dibentuk dan dapat dibantu melalui APBN;
(2)        Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, terhitung sejak diresmikannya pembentukan Kabupaten/Kota yang baru dibentuk, pembiayaan yang diperlukan pada tahun pertama sebelum dapat disusun APBD Kabupaten/Kota yang baru dibentuk, dibebankan kepada APBD Kabupaten/Kota induk, berdasarkan hasil pendapatan yang diperoleh dari Kabupaten/Kota yang baru dibentuk;
(3)        Segala biaya yang berhubungan dengan penghapusan dan penggabungan Daerah dibebankan pada APBN.

BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 19
Untuk melakukan evaluasi tingkat kemampuan Daerah dalam penyelenggaraan otonominya, Daerah setiap tahun harus menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 10 huruf a, b dan c kepada Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 13 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 13 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 233
18 Februari 2012 pukul 12:41 · 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar