Minggu, 16 November 2014

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 129 TAHUN 2000 TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 129 TAHUN 2000

TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
  1. bahwa sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah;
  2. bahwa sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Daerah yang tidak mampu menyelenggarakan Otonomi Daerah dapat dihapus dan digabung dengan Daerah lain dan sesuai dengan perkembangan Daerah, Daerah Otonom dapat dimekarkan menjadi lebih dari satu Daerah;
  3. bahwa untuk menetapkan syarat-syarat dan kriteria sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b sesuai ketentuan yang berlaku perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Mengingat:
  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
  3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952).

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERSYARATAN PEMBENTUKAN DAN KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
  1. Otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
  2. Daerah Otonom selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  3. Pembentukan Daerah adalah pemberian status pada wilayah tertentu sebagai Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota;
  4. Pemekaran Daerah adalah pemecahan Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota menjadi lebih dari satu Daerah;
  5. Penghapusan Daerah adalah pencabutan status sebagai Daerah Propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota;
  6. Penggabungan Daerah adalah penyatuan Daerah yang dihapus kepada Daerah lain;
  7. Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah adalah forum konsultasi Otonomi Daerah di tingkat Pusat yang bertanggung jawab kepada Presiden.

BAB II
TUJUAN

Pasal 2
Pembentukan, pemekaran, penghapusan dan penggabungan Daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan melalui:
  1. peningkatan pelayanan kepada masyarakat;
  2. percepatan pertumbuhan kehidupan demokrasi;
  3. percepatan pelaksanaan pembangunan perekonomian daerah;
  4. percepatan pengelolaan potensi daerah;
  5. peningkatan keamanan dan ketertiban;
  6. peningkatan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah.

BAB III
SYARAT-SYARAT PEMBENTUKAN DAERAH

Pasal 3
Daerah dibentuk berdasarkan syarat-syarat sebagai berikut:
  1. kemampuan ekonomi;
  2. potensi daerah;
  3. sosial budaya;
  4. sosial politik;
  5. jumlah penduduk;
  6. luas daerah;
  7. pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.

Pasal 4
Kemampuan ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan cerminan hasil kegiatan usaha perekonomian yang berlangsung di suatu Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota yang dapat diukur dari:
  1. produk domestik regional bruto (PDRB);
  2. penerimaan daerah sendiri.

Pasal 5
Potensi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, merupakan cerminan tersedianya sumberdaya yang dapat dimanfaatkan dan memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah dan kesejahteraan masyarakat yang dapat diukur dari:
  1. lembaga keuangan;
  2. sarana ekonomi;
  3. sarana pendidikan;
  4. sarana kesehatan;
  5. sarana transportasi dan komunikasi;
  6. sarana pariwisata;
  7. ketenagakerjaan.

Pasal 6
Sosial budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c merupakan cerminan yang berkaitan dengan struktur sosial dan pola budaya masyarakat, kondisi sosial budaya masyarakat yang dapat diukur dari:
  1. tempat peribadatan;
  2. tempat/kegiatan institusi sosial dan budaya;
  3. sarana olah raga.

Pasal 7
Sosial politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, merupakan cerminan kondisi sosial politik masyarakat yang dapat diukur dari:
  1. partisipasi masyarakat dalam berpolitik;
  2. organisasi kemasyarakatan.

Pasal 8
Jumlah penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e, merupakan jumlah tertentu penduduk suatu Daerah.

Pasal 9
Luas daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, merupakan luas tertentu suatu daerah.

Pasal 10
Pertimbangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g, merupakan pertimbangan untuk terselenggaranya Otonomi Daerah yang dapat diukur dari:
  1. keamanan dan ketertiban;
  2. ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan;
  3. rentang kendali;
  4. Propinsi yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kabupaten dan atau Kota;
  5. Kabupaten yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan;
  6. Kota yang akan dibentuk minimal telah terdiri dari 3 (tiga) Kecamatan.

Pasal 11
Cara pengukuran dan penilaian persyaratan pembentukan Daerah, dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 12
Usul pembentukan Daerah yang sudah memenuhi persyaratan dapat diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

BAB IV
KRITERIA PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH

Pasal 13
(1)        Pemekaran Daerah dapat dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
  1. kemampuan ekonomi;
  2. potensi daerah;
  3. sosial budaya;
  4. sosial politik;
  5. jumlah penduduk;
  6. luas daerah;
  7. pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.
(2)        Cara pengukuran dan penilaian kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sama dengan cara pengukuran dan penilaian pembentukan Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 12.

Pasal 14
(1)        Penghapusan Daerah dilakukan apabila Daerah tidak mampu melaksanakan Otonomi Daerahnya;
(2)        Daerah yang dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digabungkan dengan Daerah lain;
(3)        Penghapusan dan penggabungan daerah mempertimbangkan kriteria sebagai berikut:
  1. kemampuan ekonomi;
  2. potensi daerah;
  3. sosial budaya;
  4. sosial politik;
  5. jumlah penduduk.

Pasal 15
Cara pengukuran dan penilaian penghapusan dan penggabungan Daerah dilakukan berdasarkan ketentuan sebagaimana tercantum dalam lampiran Peraturan Pemerintah ini.

BAB V
PROSEDUR PEMBENTUKAN, PEMEKARAN, PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH

Pasal 16
(1)        Prosedur Pembentukan Daerah sebagai berikut:
  1. ada kemauan politik dari Pemerintah Daerah dan masyarakat yang bersangkutan;
  2. pembentukan Daerah harus didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah;
  3. usul pembentukan Propinsi disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang berada dalam wilayah Propinsi dimaksud, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
  4. usul pembentukan Kabupaten/Kota disampaikan kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah melalui Gubernur dengan dilampirkan hasil penelitian Daerah dan persetujuan DPRD Kabupaten/Kota serta persetujuan DPRD Propinsi, yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
  5. dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke Daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
  6. berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut;
  7. para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
  8. berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul pembentukan suatu daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
  9. apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul pembentukan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul pembentukan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Pembentukan Daerah kepada Presiden;
  10. apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang pembentukan Daerah disampaikan kepada DPR RI untuk mendapat persetujuan.
(2)        Prosedur pemekaran Daerah sama dengan prosedur pembentukan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 17
(1)        Prosedur Penghapusan dan Penggabungan Daerah:
  1. usul penghapusan dan penggabungan Daerah Propinsi disampaikan oleh Gubernur dengan persetujuan DPRD Propinsi kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;
  2. usul penghapusan dan penggabungan Daerah Kabupaten/Kota disampaikan oleh Bupati/Walikota melalui Gubernur kepada Pemerintah cq Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah;
  3. sebelum suatu Daerah dihapus, masyarakat daerah tersebut diminta pendapatnya untuk bergabung dengan Daerah yang berdampingan dan yang diinginkan yang dituangkan dalam Keputusan DPRD;
  4. Daerah yang akan menerima penggabungan Daerah yang dihapus, Kepala Daerah dan DPRD membuat keputusan mengenai penerimaan Daerah yang dihapus ke dalam Daerahnya;
  5. dengan memperhatikan usulan Gubernur, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah memproses lebih lanjut dan dapat menugaskan Tim untuk melakukan observasi ke daerah yang hasilnya menjadi bahan rekomendasi kepada Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
  6. berdasarkan rekomendasi pada huruf e, Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah meminta tanggapan para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan dapat menugaskan Tim Teknis Sekretariat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah ke Daerah untuk melakukan penelitian lebih lanjut;
  7. para anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah memberikan saran dan pendapat secara tertulis kepada Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
  8. berdasarkan saran dan pendapat Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, usul penghapusan dan penggabungan Daerah diputuskan dalam rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
  9. apabila berdasarkan hasil keputusan rapat anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah menyetujui usul penghapusan dan penggabungan Daerah, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Ketua Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah mengajukan usul penghapusan dan penggabungan Daerah tersebut beserta Rancangan Undang-undang Penghapusan dan Penggabungan Daerah kepada Presiden;
  10. apabila Presiden menyetujui usul dimaksud, Rancangan Undang-undang tentang Penghapusan dan Penggabungan Daerah disampaikan kepada DPR RI untuk mendapatkan persetujuan.
(2)        Pemerintah atas inisiatif sendiri, berdasarkan hasil penelitian, menyarankan agar suatu Daerah dihapus dan digabungkan ke dalam wilayah Daerah lainnya.

BAB VI
PEMBIAYAAN

Pasal 18
(1)        Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, terhitung sejak diresmikannya pembentukan Propinsi yang baru dibentuk, pembiayaan yang diperlukan pada tahun pertama sebelum dapat disusun APBD Propinsi yang baru dibentuk, dibebankan kepada APBD Propinsi induk, berdasarkan hasil pendapatan yang diperoleh dari Propinsi yang baru dibentuk, APBD Kabupaten/Kota yang masuk dalam wilayah Propinsi yang baru dibentuk dan dapat dibantu melalui APBN;
(2)        Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, terhitung sejak diresmikannya pembentukan Kabupaten/Kota yang baru dibentuk, pembiayaan yang diperlukan pada tahun pertama sebelum dapat disusun APBD Kabupaten/Kota yang baru dibentuk, dibebankan kepada APBD Kabupaten/Kota induk, berdasarkan hasil pendapatan yang diperoleh dari Kabupaten/Kota yang baru dibentuk;
(3)        Segala biaya yang berhubungan dengan penghapusan dan penggabungan Daerah dibebankan pada APBN.

BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 19
Untuk melakukan evaluasi tingkat kemampuan Daerah dalam penyelenggaraan otonominya, Daerah setiap tahun harus menyampaikan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 10 huruf a, b dan c kepada Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 20
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Ditetapkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 13 Desember 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
ABDURRAHMAN WAHID

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 13 Desember 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DJOHAN EFFENDI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 233
18 Februari 2012 pukul 12:41 · 

KPPOD dalam Berita Syarat Fiskal Pemekaran Diperketat

KPPOD dalam Berita

Syarat Fiskal Pemekaran Diperketat

Pemerintah akan memperketat syarat fiskal pembentukan daerah otonom baru melalui revisi paket Undang-Undang Otonomi Daerah, yaitu UU No.32/2004 dan UU No.33/2004.

Menteri Keuangan M. Chatib Basri mengatakan syarat fiskal yang lebih ketat itu akan masuk dalam revisi UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sejalan dengan itu, syarat tersebut juga akan disinkronkan dengan revisi UU No.33/2004 tentang Dana Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

“Rasio pendapatan asli daerah terhadap produk domestik regional bruto sebagai syarat pemekaran provinsi atau kabupaten/kota akan ditinjau ulang. Rumusannya sedang digodok Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) yang dipimpin Mendagri dan Menkeu,” ujarnya di Jakarta, Selasa (29/4).

Chatib menekankan dengan rumus baru, yang juga berarti skor baru, diharapkan pemekaran daerah tidak lagi dilihat sekedar keinginan politik. Akan tetapi, pemekaran juga harus dilihat dari aspek ekonomi dan keuangan sehingga tujuan dari pembentukan daerah baru itu bisa tercapai.

“Jangan sampai pemekaran daerah itu menjadi sekedar mau bikin provinsi atau kabupaten-kabupaten baru. Harus dilihat juga secara ekonomi, dia punya kapasitas tidak, secara keuangan dia punya kapasitas tidak,” sambungnya.

Menkeu juga menegaskan pemerintah tidak menginginkan pemekaran daerah sebatas dilandasi oleh keinginan daerah bersangkutan untuk mendapatkan alokasi dana tambahan melalui transfer dana bagi hasil (DBH), dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAU).

Pasal 5 UU No.32/2004 menyebut pembentukan daerah harus memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik. Syarat teknis mencakup kemampuan ekonomi, potensi, sosial budaya politik, kependudukan, luas, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Adapun, tata cara pembentukan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah No.78/2007. Berdasarkan beleid tersebut, faktor kemampuan keuangan diukur berdasarkan indikator jumlah pendapat sendiri (PDS), rasio PDS terhadap jumlah penduduk dan rasio PDS terhadap PDRB nonmigas.

PDS merupakan total penerimaan daerah dari PAD, bagi hasil pajak, bagi hasil sumber daya alam dan penerimaan dari bagi hasil provinsi. Penilaian untuk menentukan mampu tidaknya suatu wilayah menyelenggarakan daerah otonom dilakukan dengan sistem skor.

“Skor baru untuk menentukan apakah daya suatu daerah dapat dinyatakan sebagai provinsi atau kabupaten/kota baru inilah yang sedang dibahas DPOD,” kata Chatib tanpa merinci formula yang lebih ketat tersebut.

Pada bagian lain Chatib mengatakan pemerintah belum dapat memastikan apakah akan mengajukan draf RUU ke DPR dalam Masa Sidang IV 2013-2014 atau pada Mei 2014, sekalipun draf telah diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disusul oleh turunnya amanat presiden (ampres).

Menurutnya, pengajuan akan dilakukan ketika ada jaminan DPR akan memasukkan RUU tersebut ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014-2015. Dengan kondisi itu, sangat terbuka peluang pembahasan paket UU Otonomi Daerah itu dilakukan oleh pemerintah baru.

Provinsi Diperkuat
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan upaya pusat memberikan kewenangan lebih bagi provinsi untuk mengawasi tata kelola kabupaten/kota selama ini terbukti gagal menjalankan fungsi otonomi.

Hal itu disebabkan pemerintah kabupaten/kota masih membutuhkan koordinasi, pembinaan dan pengawasan dari pusat. Sementara itu, pengawasan pusat terhadap kabupaten/kota masih sangat lemah. Oleh karena itu, pemerintah provinsi dapat menjadi wakil pusat untuk mengawasi tata kelola kabupaten/kota.

“Jadi gubernur bisa menghapus peraturan daerah, memberikan sanksi atau teguran kepada walikota atau bupati. Nanti provinsi itu ada sumbangsihnya dalam otonomi daerah,” katanya.

Dari revisi paket UU Otonomi Daerah itu, katanya, pemerintah provinsi juga diberi kewenangan untuk menarik pengelolaan empat sektor usaha, di mana sebelumnya dilakukan kabupaten/kota, yaitu sektor pertambangan, sektor perkebunan, kehutanan, dan perikanan.

Namun, Robert menilai langkah tersebut justru berpotensi menimbulkan masalah-masalah baru. Menurutnya, sektor usaha dengan skala kecamatan lebih baik tetap menjadi kewenangan kabupaten/kota, bukan seluruhnya menjadi kewenangan provinsi.

Kewenangan kabupaten/kota seharusnya tidak dikurangi karena rendahnya kapasitas pemkab/pemkot dalam tata kelola pemerintah disebabkan pusat yang lalai dan abai membangun kabupaten/kota.

Beberapa Pokok Revisi Paket UU Otonomi Daerah:
  • Syarat fiskal pembentukan daerah otonom (provinsi, kabupaten, kota) diperketat;
  • Kewenangan provinsi dalam mengawasi pemerintah kabupaten/kota diperkuat;
  • Kewenangan kabupaten dalam sektor tambang, perkebunan, kehutanan, & perikanan dipangkas;
  • Kewenangan provinsi dalam sektor tambang, perkebunan, kehutanan, & perikanan diadakan;
  • Pengelolaan dana transfer di provinsi, kabupaten, kota dibatasi, a.l. melalui pembatasan deposito.

Syarat Lama Pembentukan Daerah Otonom Baru:
  • Hasil kajian mengenai syarat teknis, administratif, & fisik;
  • Buku kabupaten/kota terakhir untuk semua kabupaten/kota di provinsi;
  • Rencana Pembangunan jangka menengah kabupaten/kota;
  • Potensi & monografi masing-masing kecamatan/profil kabupaten/kota

Syarat-syarat Pembentukkan Daerah

Syarat-syarat Pembentukkan Daerah

UU NO.32 TAHUN 2004 dan PP NO.78 TAHUN 2007. By : An
Provinsi Madura
A.    UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
Pasal 4
1)      Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan undang-undang
2)      Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain mencakup nama, cakupan wilayah, batas ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.
3)      Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
4)      Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.
Pasal 5
1)      Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
2)      Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
3)      Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.
4)      Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
5)      Syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.
Pasal 6
1)      Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.
2)      Penghapusan dan penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.
3)      Pedoman evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
Tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
B.     PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2007 TENTANG TATA CARA PEMBENTUKAN, PENGHAPUSAN, DAN PENGGABUNGAN DAERAH
PEMBENTUKAN DAERAH
Pasal 2
1)      Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.
2)      Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada aya t (1), dapat berupa pembentukan daerah provinsi atau daerah kabupaten/kota.
3)      Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a.       pemekaran dari 1 (satu) provinsi menjadi 2 (dua) provinsi atau lebih;
b.      penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda; dan
c.       penggabungan beberapa provinsi menjadi 1 (satu) provinsi.
4)      Pembentukan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa:
a.       pemekaran dari 1 (satu) kabupaten/kota menjadi 2 (dua) kabupaten/kota atau lebih;
b.      penggabungan beberapa kecamatan yang bersandingan pada wilayah kabupaten/kota yang berbeda; dan
c.       penggabungan beberapa kabupaten/kota menjadi 1 (satu) kabupaten/kota.
Pasal 3
Daerah yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dan ayat (4) huruf a dapat dimekarkan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan 10 (sepuluh) tahun bagi provinsi dan 7 (tujuh) tahun bagi kabupaten dan kota.
Pasal 4
1)      Pembentukan daerah provinsi berupa pemekaran provinsi dan penggabungan beberapa kabupaten/kota yang bersandingan pada wilayah provinsi yang berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
2)      Pembentukan daerah kabupaten/kota berupa pemekaran kabupaten/kota dan penggabungan beberapa kecamatan yang bersandingan pada wilayah kabupaten/kota yang berbeda harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.
Pasal 5
1)      Syarat administratif pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) meliputi:
a.       Keputusan masing-masing DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna;
b.      Keputusan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan bersama bupati/walikota wilayah calon provinsi tentang persetujuan pembentukan calon provinsi;
c.       Keputusan DPRD provinsi induk tentang persetujuan pembentukan calon provinsi berdasarkan hasil Rapat Paripurna;
d.      Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon provinsi; dan Rekomendasi Menteri.
2)      Syarat administratif pembentukan daerah kabupaten/kota dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), meliputi:
a.       Keputusan DPRD kabupaten/kota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;
b.      Keputusan bupati/walikota induk tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;
c.       Keputusan DPRD provinsi tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota;
d.      Keputusan gubernur tentang persetujuan pembentukan calon kabupaten/kota; dan Rekomendasi Menteri.
3)      Keputusan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a diproses berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat.
4)      Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang dituangkan dalam keputusan DPRD kabupaten/kota yang akan menjadi cakupan wilayah calon provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 6
1)      Syarat teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, kemampuan keuangan, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan rentang kendali penyelenggaraan pemerintahan daerah.
2)      Faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinilai berdasarkan hasil kajian daerah terhadap indikator sebagaimana tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
3)      Suatu calon daerah otonom direkomendasikan menjadi daerah otonom baru apabila calon daerah otonom dan daerah induknya mempunyai total nilai seluruh indikator dan perolehan nilai indikator faktor kependudukan, faktor kemampuan ekonomi, faktor potensi daerah dan faktor kemampuan keuangan dengan kategori sangat mampu atau mampu.
Pasal 7
Syarat fisik kewilayahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 meliputi cakupan wilayah, lokasi calon ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.
Pasal 8
Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 untuk:
a.       pembentukan provinsi paling sedikit 5 (lima) kabupaten/kota;
b.      pembentukan kabupaten paling sedikit 5 (lima) kecamatan; dan
c.       pembentukan kota paling sedikit 4 (empat) kecamatan.
Pasal 9
1)      Cakupan wilayah pembentukan provinsi digambarkan dalam peta wilayah calon provinsi.
2)      Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan daftar nama kabupaten/kota dan kecamatan yang menjadi cakupan calon provinsi serta garis batas wilayah calon provinsi dan nama wilayah kabupaten/kota di provinsi lain, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga yang berbatasan langsung dengan calon provinsi.
3)      Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh Menteri.
Pasal 10
1)      Cakupan wilayah pembentukan kabupaten/kota digambarkan dalam peta wilayah calon kabupaten/kota.
2)      Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan daftar nama kecamatan dan desa/kelurahan atau nama lain yang menjadi cakupan calon kabupaten/kota serta garis batas wilayah calon kabupaten/kota, nama wilayah kabupaten/ kota di provinsi lain, nama wilayah kecamatan di kabupaten/kota di provinsi yang sama, nama wilayah laut atau wilayah negara tetangga, yang berbatasan langsung dengan calon kabupaten/kota.
3)      Peta wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat berdasarkan kaidah pemetaan yang difasilitasi oleh lembaga teknis dan dikoordinasikan oleh gubernur.
Pasal 11
1)      Dalam hal cakupan wilayah calon provinsi dan kabupaten/kota berupa kepulauan atau gugusan pulau, peta wilayah harus dilengkapi dengan daftar nama pulau.
2)      Cakupan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1) harus merupakan satu kesatuan wilayah administrasi.
Pasal 12
1)      Lokasi calon ibukota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ditetapkan dengan keputusan gubernur dan keputusan DPRD provinsi untuk ibukota provinsi, dengan keputusan bupati dan keputusan DPRD kabupaten untuk ibukota kabupaten.
2)      Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan hanya untuk satu lokasi ibukota.
3)      Penetapan lokasi ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis, kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.
4)      Pembentukan kota yang cakupan wilayahnya merupakan ibukota kabupaten, maka ibukota kabupaten tersebut harus dipindahkan ke lokasi lain secara bertahap paling lama 5 (lima) tahun sejak dibentuknya kota.
Pasal 13
1)      Sarana dan prasarana pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 meliputi bangunan dan lahan untuk kantor kepala daerah, kantor DPRD, dan kantor perangkat daerah yang dapat digunakan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
2)      Bangunan dan lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dalam wilayah calon daerah. Lahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimiliki pemerintah daerah dengan bukti kepemilikan yang sah.
TATA CARA PEMBENTUKAN DAERAH
Pasal 14
Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
a.       Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
b.      Keputusan DPRD kabupaten/kota berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat;
c.       Bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota berdasarkan hasil kajian daerah.
d.      Keputusan masing-masing bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada huruf c disampaikan kepada gubernur dengan melampirkan:
1.      Dokumen aspirasi masyarakat; dan
2.      Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b.
e.       Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi sebagaimana yang diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan hasil kajian daerah, usulan pembentukan provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi;
f.       Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD provinsi, gubernur menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:
1.      Hasil kajian daerah;
2.      Peta wilayah calon provinsi;
3.      Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksu dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan
4.      Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d.
Pasal 15
Pembentukan daerah provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:
a.       Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah provinsi atau kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
b.      Keputusan DPRD kabupaten/kota berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat;
c.       Bupati/walikota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota;
d.      Keputusan masing-masing bupati/walikota sebagaimana dimaksud dalam huruf c disampaikan kepada masingmasing gubernur yang bersangkutan dengan melampirkan:
1.      Dokumen aspirasi masyarakat; dan
2.      Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b.
e.       Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan provinsi sebagaimana yang diusulkan oleh bupati/walikota dan berdasarkan hasil kajian daerah, usulan pembentukan provinsi tersebut selanjutnya disampaikan kepada DPRD provinsi yang bersangkutan;
f.       Setelah adanya keputusan persetujuan dari DPRD provinsi, masing-masing gubernur menyampaikan usulan pembentukan provinsi kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:
1.      Hasil kajian daerah;
2.      Peta wilayah calon provinsi;
3.      Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b; dan
4.      Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d.
Pasal 16
Tata cara pembentukan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf a dilaksanakan sebagai berikut:
a.       Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
b.      DPRD kabupaten/kota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk Keputusan DPRD berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang diwakili oleh BPD untuk desa atau nama lain dan Forum Komunikasi Kelurahan untuk kelurahan atau nama lain;
c.       Bupati/walikota memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota berdasarkan hasil kajian daerah;
d.      Bupati/walikota mengusulkan pembentukan kabupaten/kota kepada gubernur untuk mendapatkan persetujuan dengan melampirkan:
1.      dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota;
2.      hasil kajian daerah;
3.      peta wilayah calon kabupaten/kota; dan
4.      Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan huruf b.
e.       Gubernur memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota berdasarkan evaluasi terhadap kajian daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf c;
f.       Gubernur menyampaikan usulan pembentukan calon kabupaten/kota kepada DPRD provinsi;
g.      DPRD provinsi memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota; dan
h.      Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan kabupaten/kota, gubernur mengusulkan pembentukan kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:
1.      Dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota;
2.      Hasil kajian daerah;
3.      Peta wilayah calon kabupaten/kota;
4.      Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan huruf b; dan
5.      Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf c dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d.
Pasal 17
Tata cara pembentukan daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dilaksanakan sebagai berikut:
a.       Aspirasi sebagian besar masyarakat setempat dalam bentuk Keputusan BPD untuk Desa dan Forum Komunikasi Kelurahan atau nama lain untuk Kelurahan di wilayah yang menjadi calon cakupan wilayah kabupaten/kota yang akan dimekarkan.
b.      DPRD kabupaten/kota dapat memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk Keputusan DPRD berdasarkan aspirasi sebagian besar masyarakat setempat yang diwakili oleh BPD untuk Desa atau nama lain dan Forum Komunikasi Kelurahan untuk kelurahan atau nama lain;
c.       Bupati/walikota memutuskan untuk menyetujui atau menolak aspirasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam bentuk keputusan bupati/walikota berdasarkan hasil kajian daerah;
d.      Masing-masing bupati/walikota menyampaikan usulan pembentukan kabupaten/kota kepada gubernur untuk mendapatkan persetujuan dengan melampirkan:
1.      Dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota;
2.      Hasil kajian daerah;
3.      Peta wilayah calon kabupaten/kota; dan
4.      Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b.
e.       Gubernur memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota berdasarkan evaluasi terhadap kajian daerah sebagaimana dimaksud dalam huruf c;
f.       Gubernur menyampaikan usulan pembentukan calon kabupaten/kota kepada DPRD provinsi;
g.      DPRD provinsi memutuskan untuk menyetujui atau menolak usulan pembentukan kabupaten/kota; dan
h.      Dalam hal gubernur menyetujui usulan pembentukan kabupaten/kota, gubernur mengusulkan pembentukan kabupaten/kota kepada Presiden melalui Menteri dengan melampirkan:
1.      dokumen aspirasi masyarakat di calon kabupaten/kota;
2.      hasil kajian daerah;
3.      peta wilayah calon kabupaten/kota;
4.      Keputusan DPRD kabupaten/kota dan keputusan bupati/ walikota; dan
5.      Keputusan DPRD provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d dan keputusan gubernur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf e.
Pasal 18
1)      Menteri melakukan penelitian terhadap usulan pembentukan provinsi atau kabupaten/kota.
2)      Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Tim yang dibentuk Menteri.
3)      Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri menyampaikan rekomendasi usulan pembentukan daerah kepada DPOD.
Pasal 19
1)      Berdasarkan rekomendasi usulan pembentukan daerah, Menteri meminta tanggapan tertulis para Anggota DPOD pada sidang DPOD.
2)      Dalam hal DPOD memandang perlu dilakukan klarifikasi dan penelitian kembali terhadap usulan pembentukan daerah, DPOD menugaskan Tim Teknis DPOD untuk melakukan klarifikasi dan penelitian.
3)      Berdasarkan hasil klarifikasi dan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPOD bersidang untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden mengenai usulan pembentukan daerah.
Pasal 20
1)      Menteri menyampaikan usulan pembentukan suatu daerah kepada Presiden berdasarkan saran dan pertimbangan DPOD.
2)      Dalam hal Presiden menyetujui usulan pembentukan daerah, Menteri menyiapkan rancangan undang-undang tentang pembentukan daerah.
Pasal 21
1)      Setelah Undang-undang pembentukan daerah diundangkan, Pemerintah melaksanakan peresmian daerah dan melantik penjabat kepala daerah.
2)      Peresmian daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 6 (enam) bulan sejak diundangkannya undang-undang tentang pembentukan daerah.
PENGHAPUSAN DAN PENGGABUNGAN DAERAH
Pasal 22
1)      Daerah otonom dapat dihapus, apabila daerah yang bersangkutan dinyatakan tidak mampu menyelenggarakan otonomi daerah.
2)      Penghapusan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah melalui proses evaluasi terhadap kinerja penyelenggaraan pemerintahan daerah dan evaluasi kemampuan penyelenggaraan otonomi daerah dengan mempertimbangkan aspek kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik dan daya saing daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
3)      Daerah yang dihapus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digabungkan dengan daerah lain yang bersandingan berdasarkan hasil kajian.
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 30
Bagi provinsi yang memiliki status istimewa dan/atau diberikan otonomi khusus, dalam pembentukan daerah selain ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini juga berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang memberikan status istimewa dan/atau otonomi khusus.