Senin, 25 Agustus 2014

KONFLIK, Harga Eksistensi FI dan NKRI di Papua (bagian 2)


Penulis : Topilus B. Tebai | Senin, 25 Agustus 2014 22:00 Dibaca : 297   Komentar : 0
Panser di Freeport Indonesia. Foto: Ist

Bagian ini adalah sambungan dari  satu tulisan panjang. Disarankan lebih dahulu membaca bagian 1.

Sikap Negara Indonesia
Sikap Indonesia santai, adem ayem alias diam dan duduk manis menanti persennya tiba dalam bentuk pajak dan bagi hasil sesuai perjanjian kontrak, dan atas saham 8.5% yang ditanamnya di PT Freeport. Bagaimana empati pimpinan negara Indonesia atas nasib orang Papua yang tetap melarat hingga saat ini? Hampir tak ada. Bahkan negara Indonesia melalui militernya menunjukkan sikap memihak Freeport.
   
Ingatlah sejarah. Freeport Hadir tahun 1967 ketika Papua masih dalam status quo. Indonesia mempersilahkan masuk PT FII dengan penetapan Undang-undang penanaman modal asing (PMA). Indikasi yang hingga saat ini melekat di hati orang Papua kebanyakan adalah bahwa kontrak karya Freeport dijadikan 'alat pelicin' oleh Indonesiat untuk memuluskan keinginannya menjadikan Papua menjadi wilayah NKRI.
   
Dengan perjanjian dan serangkaian kesepakatan yang masih 'abu-abu' hingga saat ini, Freeport beroperasi. Dampak limbah yang ditimbulkan begitu berbahaya. Manusia Papua sebagai pemilik ulayat tidak diperhatikan dan malah terus menjadi objek mengail rezeki dari pendatang dan militer. Sementara puluhan ribu kilo emas dan tembaga per hari dikeruk dan dibawa pergi.
   
Indonesia malah merespon pemberontakan atas derita yang dibawa Freeport dengan melabeli separatis yang melawan negara Indonesia yang oleh hukum legal untuk dibasmi. Orang Papua dilihat sebagai kelompok yang menghambat pembangunan yang harus ditumpas. Indonesia memihak Freeport dan menempatkan diri sebagai musuh rakyat Papua yang menderita karena kehadiran Freeport.

Sikap Rakyat Papua
Dari awal, orang Papua menentang pendatang baru untuk datang dan menguasai wilayah adat Papua. Hal ini tercermin dari awal. Sikap mereka diungkapkan dengan berbagai cara, mulai dari ucapan, demostrasi, hingga perlawanan fisik.
   
Orang Papua menganggap tanah adalah mama yang memberi mereka makan. Maka konsekwensi manusia Papua dalam hidup sehari-hari adalah menghargai dan melindungi  alam, tanah dan segala isi di wilayah kekuasaan adatnya. Dengan demikian, cara Freeport  datang tanpa diundang dan tanpa permisi, cara mereka menduduki dan mengeksploitasi tambang jelas berseberangan dengan adat yang dianut orang Papua.
   
Misalnya, hal ini tercermin dari kata-kata Yosepha Alomang pada Mei 2000: "Gunung Memangkawi itu saya. Danau Wanagong itu saya punya sum-sum. Laut itu saya punya kaki. Tanah di tengah ini tubuh saya. Kou sudah makan saya. Mana bagian dari saya yang kou belum makan dan hancurkan? Kou sebagai pemerintah harus lihat. Sadar bahwa kou sedang makan saya. Coba kou hargai tanah dan tubuh saya..!"
   
Jenderal TPN/OPM, Gen. Kelly Kwalik yang beroperasi di bagian Timika pun kadang menyerang beberapa pos militer, Freeport security. Sayangnya, perjuangan orang Papua untuk menuntut hak mereka untuk dipenuhi, perlawanan mereka dengan cara mereka, selalu ditanggapi sebagai upaya menentang Negara Indonesia (separatis) dan upaya untuk menentang Freeport (menentang asset Negara) yang harus diamankan dengan berbagai cara.
   
Maka sejak Freeport masuk dan secara tidak langsung menarik semua orang dari seluruh suku bangsa di Papua, seluruh orang Indonesia dari berbagai provinsi dan pulau, bahkan masyarakat internasional untuk datang ke Timika. Telur konflik pun telah pecah.

Konflik Timika
Timika. Oleh dunia, dia lebih terkenal dengan nama Tembagapura. Oleh orang Papua dan Indonesia sebagian, Timika juga terkenal karena menjadi kota konflik.
   
Konflik yang terjadi beragam. Secara umum, ada beberapa model konflik yang dapat diidentifikasi menurut pihak-pihak yang bertikai dan terlibat dalam konflik. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik sudah jelas, PT Freeport, orang Papua dalam kelompok-kelompok suku (Dani, Moni/Migani, Mee, Damal, Amungme, Kamoro), Orang kei, orang Timor, orang Pendatang (Jawa, Bugis, Makassar, dll), TNI/Polri, Orang Tak Dikenal (OTK), dan TPN/OPM. Dalam konflik batin berupakonflik ideologi, masih banyak pihak-pihak yang menjadi aktor konflik.
   
Yang paling banyak terjadi adalah konflik antar orang Papua dan Freeport, antar orang Papua sendiri dalam lingkup suku-suku, konflik antara OPM dengan TNI/Polri karena perbedaan ideologi dan konflik dengan pendatang (orang luar Papua).

Yang menarik adalah menyimak dampak yang ditimbulkan dari kehadiran PT Freeport terhadap konflik. Yang jelas, kehadiran PT Freeport menjadikan wilayah adat yang dihormati habis diambil dan dipatok sebagai wilayah tambang. Penghuninya dari berbagai suku bangsa dikumpulkan di satu tempat. Ini sudah jelas sangat rentan terhadap konflik antar kelompok suku. Hal ini juga karena masalah peradaban (mengenai ini, akan dijelaskan di bawah).
   
Freeport juga hadir membawa militer untuk mengamankan tambang, berupa TNI/Polri dari berbagai kesatuan. Mereka digaji besar dari Negara dan Freeport untuk mengamankan. Mereka kadang tidak berperikemanusiaan terhadap warga Papua.
   
Saya pikir ada juga dampak dari  lompatan yang cukup tinggi yang dialami orang Papua dalam hal peradaban kehidupan. Saya ingat sharing pendapat Emanuel Gobay, pekerja HAM di lembaga bantuan hukum (LBH) Yogyakarta beberapa waktu lalu yang mengatakan, tingkatan peradaban orang Papua dengan Indonesia dan manusia di dunia lain berbeda. Orang Papua mengalami lompatan peradaban.
   
Menurutnya, orang Papua masih berada pada tingkatan peradaban komunal primitif ketika Freeport masuk. Sayangnya, orang-orang yang menyetir Freeport dan masyarakat Indonesia sudah mulai masuk kepada tingkatan peradaban kapitalis. Ada beberapa tingkatan peradaban yang dilompati orang Papua.
   
Dalam arti lain dapat dikatakan, kedatangan bangsa-bangsa luar mengakibatkan orang Papua seperti dipaksa untuk menjadi penghuni peradaban kapitalis dari posisi komunal primitif. Sayangnya perilaku dan tindakan orang Papua akan tetap mencerminkan posisi peradaban hidup komunal, walau secara riil, orang Papua saat ini menjadi penghuni peradaban kapitalis.
   
Ini berpengaruh pada pola pikir. Masyarakat kapitalistik akan berpikir untuk memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk menghasilkan uang, keuntungan dan laba. Dengan cara bagaimana pun itu.
   
Bila peluang dan kesempatan itu tidak ada, mereka akan bangkit menciptakan peluang dan kesempatan itu. Sementara orang Papua yang masih berpola pikir komunal akan mengutamakan keluarga dan sukunya, mengenal pembagian wilayah kekuasaan adat dan saling menghormati, dan pola hidupnya masih mengutamakan kebersamaan.
   
Beberapa perbedaan ini dalam pembahasan selanjutnya kita telaah, apakah kehidupan masyarakat Papua yang komunal primitif dengan sifat-sifat dasar mereka itu bisa digunakan dan dimanfaatkan untuk menghasilkan keuntungan bagi masyarakat kapitalis dengan sifat kapitalistik yang membentuk dasar pemikiran dan arah hidup mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar