Rabu, 18 Juni 2014

JAYAPURA DAN MIMIKA DITETAPKAN SEBAGAI KAWASAN EKONOMI HIJAU

JAYAPURA DAN MIMIKA DITETAPKAN SEBAGAI KAWASAN EKONOMI HIJAU

Rakor Penanaman Modal. (Jubi/Alex)
Rakor Penanaman Modal. (Jubi/Alex)
Jayapura, 18/6 (Jubi) – Pemerintah Provinsi Papua menetapkan wilayah Binggran di Jayapura dan Mimika  sebagai kawasan ekonomi hijau selain ‘Merauke Integreted Food and Engergy’ Estate di Merauke.
“Penetapan kawasan ekonomi hijau tersebut dipersiapkan untuk memaksimalkan kegiatan industri, ekspor, impor dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi,” kata Gubernur Papua Lukas Enembe melalui Asisten II Setda Papua, Elia Loupatty, saat membuka Rakor Perencanaan dan Penahanan Modal, di Hotel Aston Jayapura, Papua, Rabu (18/6).
Menurut Elia, penetapan kawasan ekonomi hijau tersebut tetap prolingkungan dengan tujuan untuk mempercepat perkembangan daerah dan sebagai model terobosan pengembangan industri, pariwisata dan perdagangan sehingga dapat menciptakan lapangan pekerjaan.
“Untuk mewujudkan kawasan hijau tersebut diperlukan dukungan sarana dan prasarana yang memadai berupa ketersedian infrastruktur dan energi yang ramah lingkungan,” ujarnya.
Di samping itu, sejalan dan sesuai dengan salah satu misi pembangunan Papua, yakni percepatan pembangunan infrastruktur dan konektivitas antar kawasan dan antar daerah dengan mengedepankan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Untuk itu, kata Elia, saat ini pemerintah sedang melanjutkan penyelesaian pembangunan ring road atau jalan yang terbentang melingkar dengan kualitas standar tol dari Jayapura menuju Sentani. “Sementara dengan dana APBN kita melaksanakan pembangunan pelebaran dan peningkatan fasilitas Bandara Sentani agar bisa didarati oleh pesawat berbadan lebar pada siang maupun malam hari. Semuanya itu, saat ini masih dalam tahapan penyelesian pembangunan,” jelasnya.
Sementara untuk bidang energi, lanjutnya, telah direncanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Urumuka yang lokasinya mencakup empat kabupaten, yakni Mimika, Deyai, Dogiyai dan Paniai sebagai pendukung kawasan ekonomi hijau Mimika.
Sedangkan untuk kawasan ekonomi hijau Bonggrang, telah disusun rencana pembangunan PLTA Mamberamo. “Dalam rangka pemanfaatan tailing untuk industri semen di Kabupaten Mimika telah ditandatangani MoUnya dengan PT. Free Port Indonesia guna memenuhi kebutuhan semen di Papua,”kata dia.
Elia menegaskan , tantangan yang dihadapi dalam pengembangan investasi dan meningkatkan daya tarik investasi di Papua tidaklah ringan.  “Namun,  dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah dapat memberikan keyakinan dan optimisme, tanah Papua ini dapat memberikan kesempatan dan peluang bagi seluruh pelaku usaha serta investor untuk berkipra seluas-luasnya berinvestasi di Papua,” katanya.
Di tempat yang sama. Kepala Badan Penanaman Modal Provinsi Papua, John Way mengatakan bahwa pihaknya akan sangat mendukung kebijakan gubernur dalam hal mengembangkan Papua ke arah yang mandiri, bangkit dan sejahtera, dengan mempersiapkan SDM yang mumpuni.
“Kami siap menjalankan program sesuai dengan visi misi gubernur, yakni Papua bangkit, mandiri dan sejahtera. Apalagi Papua memiliki sumber aaya alam (SDA) yang berlimpah. Untuk itu, kami persilakan para investor untuk menanamkan modalnya di Papua,” kata John Way. (Jubi/Alex)

EU Expresses Concern Over Shariah-Related Human Rights Abuses in Aceh

EU Expresses Concern Over Shariah-Related Human Rights Abuses in Aceh

Baitul Rahman mosque in Banda Aceh. (JG Photo/Boy T. Harjanto)
Banda Aceh. In a visit to Sumatra’s northernmost province, the European Union’s ambassador to Indonesia expressed concern over human rights abuses, against women in particular, that have been documented under the semi-autonomous province’s enforcement of shariah law.
“There have been a few cases during the implementation of sharia law in Aceh that have shed a negative light abroad,” Ambassador Olof Skoog said on Tuesday, during his two-day visit to Aceh.
Over the course of his visit, Skoog — accompanied by the ambassadors from the Czech Republic, Denmark, Germany, Italy, and Sweden — met and talked with local human rights activists, with Aceh Governor Zaini Abdullah and with members of the Aceh Legislative Council (DPRA). 
Skoog said that in every meeting he had expressed the EU’s concern over the human rights impact of shariah in the province.
“Our concern is respect for women’s rights in the Islamic shariah implementation,” he said. “During the meeting with the governor we were convinced that Aceh is very tolerant for non-Muslims and that sharia law is implemented with a soft approach.”
Muslims in Aceh face public caning for certain crimes, including adultery, under the local legal system.
A woman and her married lover were sentenced to be caned for adultery in May, even after she had been gang-raped by vigilante enforcers of shariah, sparking domestic and international outrage.
Skoog said he expressed concern to Zaini over a measure passed in December 2013 that would expand the application of shariah to include non-Muslims.
“We have a concern over the implementation of these codes for non-muslims but we don’t want to intervene too much, the most important thing is the respect for the human rights and tolerance within the shariah,” he said.

NZ Ambassador Defends Canceled Police Training Program

NZ Ambassador Defends Canceled Police Training Program

Papuan students take part on a rally in Surabaya on Dec. 2, 2013, demanding the freedom of West Papua from Indonesia. (AFP Photo/Bay Ismoyo).
Jakarta. New Zealand’s ambassador to Indonesia, in response to allegations that his country had a hidden motive behind a police training project in eastern Indonesia, says New Zealand has only ever worked at the request of the Indonesian government.
Ambassador David Taylor said he was surprised to read comments by the deputy chief of the Indonesia National Police, Comr. Gen. Badrodin Haiti, that the $5.4 million program was shelved over concerns about its motives.
“We only do things in response to what the Indonesian government asks — and that’s what we’ve done in this case,” he said in an interview at his office in the embassy in South Jakarta on Thursday.
Taylor also reaffirmed that the New Zealand government respected Indonesia’s territorial integrity and wished only to support its further development.
On Tuesday, Badrodin said the three-year training program, funded by New Zealand Aid and managed by the New Zealand Police, was canceled on advice from police intelligence reports.
“We refused it based on the input from head of [the] Police’s Security Intelligent agency, Comr. Gen. Suparni Parto, that there could be a hidden motive behind the aid,” Badrodin told the Jakarta Globe.
The program, which was scheduled to start in West Papua early this year, followed a pilot project in Papua, Maluku and Aceh in 2009-10. Two full-time New Zealand police staff would have been deployed to the Indonesian National Police office in Jayapura for three years, as well as short-term specialists, in the aim of providing training for up to 1,000 Indonesian police officers.
Taylor said the project had been requested by the Indonesian National Police and that they had been consistently involved in its development.
“There have been instances in the past of problems involving police in communities in different parts of Indonesia,” he said. “The Indonesian government recognized that, wanted to make some improvements and they came to us and asked for help. We said, ‘Sure’.”
The Indonesian police informed their New Zealand counterparts several months ago that the project would not proceed, Taylor said.
However, the cancellation was not expressed “in terms of concern [about motives],” he said. “They were focused on elections this year, they said, and were concerned about security.”
Indonesians on July 9 will elect a new president, replacing Susilo Bambang Yudhoyono, whose second five-year term ends in October.
Taylor acknowledged that New Zealand had turned down an offer to train members of Indonesia’s police force in Java or Makassar but said that was because the program stressed practical training.
“The idea was that the community policing program that New Zealand runs is different to other community policing because it puts practical training into communities where there is stress,” the ambassador said.
Human rights groups in Indonesia and New Zealand have seized upon the program’s cancellation as proof Indonesian government is uncomfortable with outside scrutiny and, in particular, its repression of the West Papuan independence movement.
“We should be taking a postive stance towards peace making, rather than doing backdoor deals that the Indonesians walk away from when there is any risk of scrutiny,” Green Party MP Catherine Delahunty told Radio New Zealand International.

Panglima TPN-OPM Wilayah Saireri II Tewas Ditembak !

Panglima TPN-OPM Wilayah Saireri II Tewas Ditembak !
7 Views
Panglima TPN-OPM Wilayah II Saireri Rudy Orarei saat berpose di depan kamera bersama bendera bintang kejora. (foto: dok Sulpa)
Serui (Sulpa) – Panglima TPN-OPM Wilayah II Saireri Rudy Orarei yang selama ini bermarkas di Kampung Kontinai Distrik Angkaisera Kabupaten Kepulauan Yapen dipastikan tewas Selasa pagi kemarin sekitar pukul 8:00 WIT setelah terjadi kontak senjata antara rombongan Kapolres di Kampung Kainui.
Kronologis bermula saat rombongan Kapolres, Kasat Reskrim dan tim mendatangi TKP  di Kainui untuk melakukan olah TKP, karena ada kasus pembunuhan Korban Erens Aninam yang dibunuh oleh Elias Aninam yang terjadi pada pukul 2:30  WIT, kemudian diperoleh informasi bahwa pada pukul 5:00 pelaku pembunuhan atas nama Elias Aninam sudah tewas ditikam oleh pelaku yang belum diketahui identitasnya oleh polisi.
Menurut Kapolres Kepulauan Yapen AKBP.Gatot Suprasetya,SIK kepada SULUH PAPUA sore kemarin mengatakan setelah terjadi pembunuhan di Kainui, anggota Polres mendapat telephon dari Rudy Orarei bahwa dirinya melarang polisi melakukan olah TKP.
Sehingga atas perintah Kapolres bersama Kasat Reskrim dan tim ke Kainui melakukan olah TKP. Setelah melakukan olah TKP, dalam perjalan pulang dari Kainui rombongan Kapolres di hadang oleh Rudy Orarei dan kelompoknya, sehingga terjadi kontak senjata  dan mengakibatkan Rudy Orarei tewas
ditempat.
Dikatakan, pasca tewasnya pentolan TPN-OPM wilayah II Saireri tersebut, kemudian aparat kepolisian melakukan penggeledahan di rumah Rudy Orarei yang terletak di Kampung Kontinai dan berhasil mengamankan sejumlah barang bukti (BB) seperti; Senpi V5 Sabhara dengan 5 magazine, 275 butir peluru, 2 senjata rakitan, handpone 3 biji, kampak, GPS, motor jupiter dan sejumlah barang bukti lainya yang telah diamankan.
Kapolres mengakui pasca tertembaknya Rudy Orarei, kondisi kantibmas diwilayah Kepulauan Yapen kondusif terutama di Distrik Angkaisera, dimana masyarakat mengaku senang dan bersyukur agar dapat
hidup aman dan damai.
“Rudy Orarei ini berdasarkan catatan criminal ada sebanyak 10 kasus yang telah dilakukan, termasuk pembakaran rumah warga, pembunuhan masyarakat sipil dan pembunuhan anggota Polri di wilayah Angkaisera. Dan Rudy Orarei merupakan DPO yang sudah ditetapkan Polda Papua dan Polres sebanyak 10 kali’’ jelas Kapolres.
Jenasah korban di bawa ke RSUD Serui untuk di semayamkan di ruang mayat, guna dilakukan otopsi lebih lanjut.
“jenasah akan dibawa oleh keluarga untuk dimakamkan, dan kita bantu proses pemakaman nanti,’’ terang Kapolres.
Lucky Nupapaty selaku perwakilan Keluarga Rudy Orarei ketika di temui di Polres semalam kepada SULUH PAPUA, mengakui keluarga menerima dengan iklhas kematian dari pada Rudy Orarei dan akan membawa jenasahnya untuk di makamkan di Serui laut Distrik Yapen Selatan.
Menurut Lukcy bahwa keluarga membutuhkan perhatian dari pihak kepolisian untuk segera memakamkan jenasah, agar tidak berkepanjangan dan menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat,
’’kami keluarga menerima kejadian ini dengan ikhlas, kita berharap hukuman dan perbuatan
yang dibuat selama hidupnya, kami mohon dimaafkan, dan semoga proses hukumnya yang sedangkan ditangani dapat  selesai. Masyarakat harus melihat persoalan ini dengan baik, dan kita bersama-sama menjaga keamanan daerah ini”, katanya.
Rencananya hari rabu pagi pukul 10:00 WIT akan makamkan, dan semua masyarakat di persilahkan hadir dan menyaksikan proses pemakaman dan jangan takut kepada aparat keamanan.
Hingga berita ini diturunkan semalam, kondisi aktifitas masyarakat Serui sedikit lengang. Sejumlah toko-toko dan kios memilih tutup, untuk mengantisipasi amukan kelompok pendukung Rudi Orarei yang
merasa tidak puas atas kematian Panglimanya. (A/WIL/R1/L

Reparations And West Papua’s Independence Movement Spark Interest At St. Martin Book Fair’s Presidents’ Forum

Reparations And West Papua’s Independence Movement Spark Interest At St. Martin Book Fair’s Presidents’ Forum

Chief Benny Wenda about to speak to an audience of some 200 guests after receiving the Presidents’ Award at the 12th annual St. Martin Book Fair, while festival principals Shujah Reiph and Jacqueline Sample look on (6.7.14).
Chief Benny Wenda about to speak to an audience of some 200 guests after receiving the Presidents’ Award at the 12th annual St. Martin Book Fair, while festival principals Shujah Reiph and Jacqueline Sample look on (6.7.14).
Over 500,000 West Papuans have been killed by the Indonesian military.
GREAT BAY (HNP) -- A last minute change in the program brought the issues of Reparations and the continuing struggle of West Papua for its independence from Indonesia to the forefront of the Presidents’ Forum at the 12th Annual St. Martin Book Fair, Saturday, June 7.
It was a blessing in disguise, and one that remained consistent with the festival’s 2014 theme of “Crime&Punishment.”

Following an introduction of the presenters by president of the University of St. Martin, Annelies van dem Assem, rapporteur/moderator Fabian Badejo welcomed the audience and said the Presidents’ Forum is the “intellectual underpinning” of the Book Fair.

The issue of reparations for the crime against humanity that was Slavery is one that won’t go away easily, he said, invoking the adage that states, “he who does the crime, must do the time.”

However, author, playwright and member of Antigua and Barbuda’s National Reparations Committee, and of the Caribbean Reparations Commission, Dorbrene O’Marde addressed the issue from several angles, stressing that reparations was necessary to bring closure to that evil chapter in human history that still impacts the lives of Caribbean people up till today.

One by one, O’Marde debunked the main arguments against reparations, and drew a clear distinction between slavery in Africa and the chattel Slavery of the Transatlantic Slave Trade adding that he agreed with Badejo’s suggestion that the latter be spelt with a capital “S.”

He also showed that there has been no break in the struggle for reparations, especially in the Caribbean and explained that the CARICOM Reparations Commission had a 10-point plan, which was recently approved unanimously by the member states to “achieve reparatory justice for the victims of genocide, slavery, slave trading, and racial apartheid.”

The Forum however, belonged to exiled West Papua independence movement leader, Chief Benny Wenda, an ex-political prisoner and Nobel Peace Prize nominee for his relentless work to drum up international support for the liberation of his people.

In a chilling presentation that began with a freedom song in his native language, Wenda recalled the racial humiliation he suffered at school and the institutionalized oppression of the people of West Papua by the Indonesian military.

A sham referendum in 1962, recognized by the UN, made West Papua part of Indonesia. However, the cry for freedom of the people has been systematically stifled with the international community either not paying much attention or totally ignoring the plight of the West Papuans. Wenda revealed that since 1962, over 500,000 West Papuans have been killed by the Indonesian military.

He received an emotional standing ovation and many participants pledged their support for his cause and wanted to know how they could help advance this.

Wenda would later receive the Presidents’ Award at the closing ceremony of the Book Fair held at the Chamber of Commerce building in Concordia, Marigot, on the Saturday evening.

The Presidents’ Award is presented annually to a book fair guest for creating or advancing original or critical works of literature and orature. Chief Wenda, with his wife Maria, is also part of the Lani Singers. The group’s albums, Ninalik Ndawi and Ninalik Arirak, include West Papua songs that might land some in jail if interpreted as subversive folk or protest songs by the Indonesian military in West Papua. 

Kamis, 12 Juni 2014

KONTRAK FREEPORT: CT Jelaskan Posisi Pemerintah

KONTRAK FREEPORT: CT Jelaskan Posisi Pemerintah

CT perjelas posisi pemerintah terkait kontrak Freeport/Bisnis

Bisnis
CT perjelas posisi pemerintah terkait kontrak Freeport
Bisnis.com, JAKARTA—Segera berakhirnya kontrak PT Freeport Indonesia pada 2021, mengundang spekulasi sikap pemerintah apakah memperpanjang atau justru menghentikan kontrak perusahaan tambang raksasa itu.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung kembali menegaskan sikap pemerintah, bahwa pemerintah sekarang tidak memiliki kewenangan untuk memperpanjang kontrak perusahaan tersebut.
“Saya tegaskan lagi pemerintahan sekarang tidak memiliki kewenangan untuk memperpanjang kontrak Freeport,” katanya kepada wartawan di kantornya, Kamis (12/6/2014).
Meski sudah ada pengajuan dari Freeport untuk melakukan perpanjangan kontrak, namun pemerintah tidak bisa memutuskan. Karena kewenangan menetapkan ada pada pemerintahan berikutnya.
Saat ini, kata CT-sapaan akrabnya, yang bisa dilakukan pemerintah hanya melakukan negosiasi agar perusahaan itu membangun smelter dan membayarkan royalti sesuai aturan.
“Kepentingan pemerintah sekarang hanya negosiasi, agar mereka mau bangun smelter, mau memberikan jaminan, mau membayar royalti sesuai aturan,” ujarnya.
Soal MoU, sebutnya, tidak ada hubungan dengan perpanjangan kontrak.

Editor : Heri Faisal

Obral Gede-gedean HUT ke-487 Jakarta. Nyok, langganan seumur hidup ePaper Bisnis Indonesia cuma Rp10 juta, hanya sampai 30 Juni 2014. 

KEDUBES AS KUNJUNGI PAPUA DAN PAPUA BARAT

KEDUBES AS KUNJUNGI PAPUA DAN PAPUA BARAT

    Duta Besar 
(Dubes) AS untuk Indonesia, Robert Blake (Vivanews/Santi Dewi)
    Duta Besar (Dubes) AS untuk Indonesia, Robert Blake (Vivanews/Santi Dewi)
    Jayapura, 10/6 (Jubi) – Setelah melakukan kunjungan ke Provinsi Papua Barat, Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia, Robert Blake beserta rombongan, hari ini, Selasa (10/6) berkunjung ke Provinsi Papua.
    Dari informasi yang dihimpun , kunjungan kerja Dubes Amerika Serikat kali ini ke ujung timur Indonesia bermaksud menemui pejabat pemerintah, tokoh-tokoh masyarakat, dan sejumlah alumni program pertukaran AS-Indonesia.
    Selain itu juga meninjau program-program yang didanai pemerintah Amerika Serikat, seperti edukasi pengentasan HIV/AIDS, keanekaragaman hayati bahari dan peningkatan pelayanan kesehatan masyarakat.
    Seperti dikutip www.radartimika.com, Dubes didampingi sejumlah staf tiba di Bandara Rendani Manokwari, Senin (9/6) dengan menggunakan pesawat khusus.
    Di Manokwari, Robert Blake melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak, diantaranya ketua dan anggota MRP PB, Gubernur Papua Barat, tokoh agama Pdt M.L.Wanma serta berkunjung ke kampus Unipa (Universitas Negeri Papua) dan diterima Rektor Dr Suriel Mofu.
    Selanjutnya Robert Blake bersama Direktur misi United State Agency International Development (USAID) Indonesia Dr. Derick Brown beserta rombongan melanjutkan kunjungannya ke Provinsi Papua, dimana pagi tadi sekitar pukul 09.00 wit telah tiba di bandara Sentani, Kabupaten Jayapura dan menyempatkan diri berkunjung ke Puskesmas Dosay, Distrik Sentani Barat, Kabupaten Jayapura.
    Di sana, rombongan pejabat negara adikuasa itu meninjau sejumlah ruangan, di antaranya ruang Laboraturium, ruang KIA, dan ruang VCT.
    Blake mengaku senang berkunjung ke sejumlah tempat di Papua, selain itu  ia juga kagum akan keindahan alam Papua dan Papua Barat. “Saya senang bisa berada di Puskesmas Dosay. Ini adalah salah satu Puskesmas yang mendapat hubungan dari Program Kinerja yang berada di bawah USAID Indonesia,” kata Robert, Selasa (10/6).
    Diakuinya jika selama ini Pemerintah Amerika Serikat melalui program kinerja dibawah USAID Indonesia telah menggelontorkan jutaan dolar untuk sejumlah program kesejhatan ibu dan anak, penanggulangan HIV/AIDS dan  Tubercolosis (TBC).
    Kita secara total berikan bantuan delapan juta dolar Amerika untuk empat kabupaten di Papua yakni Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Jayawijaya dan Kabupaten Mimika,” ujar Blake.
    Menurutnya, tujuan pemberian bantuan itu untuk meningkatkan administrasi lokal, sehingga mereka bisa meningkatkan tata kelola dan administrasi mereka yang pada akhirnya bisa meningkatkan kesehatan ibu dan anak, HIV/AIDS serta TBC.
    Jadi kita juga banyak program kesehatan yang akan dilakukan di Papua. Jadi kita juga sudah bekerjasama dengan UNICEF untuk berikan kelambu kepada seluruh masyarakat Papua dan diharapkan ini akan menurunkan penyakit malaria. Kita juga bekerjasama dengan sejumlah kabupaten/kota di Papua guna memerangi HIV/AIDS,” katanya.
    Diungkapkan Blake, tingkat penyebaran HIV/AIDS di Papua cukup memprihatinkan, dengan tingkat penyebaran HIV tertinggi di Indonesia dengan estimasi prevelansinya 2,3 persen dari totalnya. “Dan angka ini semakin tinggi di antara pekerja seks komersial, pekerja ojek dan pekerja di pelabuhan. Kita juga bekerjasama dengan mitra lokal dan LSM-LSM serta UNICEF untuk sosialisasi dan ajaran mengenai HIV/AIDS,” ujarnya.
    Setelah meninjau langsung Puskesmas Dosay, selanjutnya Dubes AS ini akan bertemu Gubernur Papua dan beberapa agenda lainnya.
    Berikut agenda Dubes AS beserta rombongan akan mengunjungi kantor DPRD Provinsi Papua dan MRP, sekitar pukul 14.00 WIT berkunjung ke Kantor Gubernur Papua, dilanjutkan ke Makodam XVII Cenderawasih. Lalu, terakhir akan dijamu makan malam di kediaman Kapolda Papu. Terus, pada Rabu (11/6) pagi, Dubes AS beserta rombongan akan terbang ke Wamena, Kabupaten Jayawijaya. (Jubi/Indrayadi TH)

FRANK LA RUE : SAYA TAHU MASALAH KEBEBASAN BEREKSPRESI DI PAPUA

FRANK LA RUE : SAYA TAHU MASALAH KEBEBASAN BEREKSPRESI DI PAPUASesi 26 sidang HAM
 PBB (Jubi/Victor Mambor)

    Sesi 26 sidang HAM PBB (Jubi/Victor Mambor)
    Jenewa, 12/6 (Jubi) – Koalisi Internasional untuk Papua (ICP) kembali menyampaikan pernyataan keprihatinan terhadap pembatasan kebebasan berekspresi di Papua. Pernyataan ini disampaikan ICP dihadapan sesi 26 sidang tahunan Dewan HAM PBB di Geneva, 11 Juni 2011.
    ICP dalam pernyataan ini meminta perhatian Dewan HAM PBB untuk meninjau pembatasan kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai di Papua, Indonesia. Papua terbatas bagi para pengamat HAM internasional, wartawan asing dan peneliti. Menurut ICP, pada 2013 jumlah tahanan politik meningkat dua kali lipat, jumlah kasus penyiksaan yang dilaporkan dan perlakuan buruk terhadap tahanan meningkat empat kali lipat, dan jumlah kasus yang melibatkan penolakan akses untuk mendapatkan pendampingan hukum dan pengadilan yang adil meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
    “Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya kordinasi aktivitas politik damai di Papua Barat hingga memicu respon polisi yang represif, yang mewakili serangan konsisten dan mengkhawatirkan untuk hak berkumpul secara damai. Pada 2013, setidaknya ada 19 kasus penangkapan yang dilakukan untuk mencegah, menangkap atau menghukum pelaku demonstrasi damai. Data menunjukkan peningkatan frekuensi penangkapan secara massal.” ujar Budi Tjahjono, anggota ICP dari Fransiskan Internasional saat menyampaikan pernyataan ICP kepada Dewan HAM PBB.
    Kepemilikan Bendera Bintang Kejora, menurut ICP, semakin sering digunakan sebagai alasan untuk penangkapan dan intimidasi. Data terbaru juga menunjukkan bahwa UU Darurat 12/1951, tentang kepemilikan senjata tajam, senjata api dan amunisi, terkadang digunakan juga bersama tuduhan makar untuk meyakinkan pengadilan jika tidak ada bukti yang kredibel atas tuduhan makar.
    “Pada 2 April 2014, dua mahasiswa, Alfares Kapisa dan Yali Wenda ditangkap dan disiksa oleh polisi saat keduanya, bersama beberapa mahasiswa menyerukan pembebasan tahanan politik dan membuka ruang demokrasi di Papua dalam sebuah demonstrasi damai. Mereka dipukuli, disetrum, diinjak-injak dan tidak mendapatkan perawatan medis yang memadai. Polisi juga melecehkan para mahasiswa dengan menyebut mereka “monyet.” tambah Budi.
    ICP menyebutkan, hingga akhir Mei 2014, setidaknya ada 79 tahanan politik di penjara Papua. Tahun 2013 setidaknya ada 42 kasus intimidasi terhadap tahanan yang dilaporkan.
    ICP juga menyebutkan wartawan di Papua menghadapi resiko penangkapan, ancaman dan intimidasi. Menurut Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (Aliansi Jurnalis Independen, AJI) Jayapura, pada tahun 2013, ada 20 kasus kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan di Papua. Jumlah ini meningkat dari 12 kasus yang dilaporkan pada tahun 2012.
    Situasi pembatasan kebebasan berekspresi ini mendorong ICP merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk melakukan finalisasi amandemen KUHP Indonesia sehingga mematuhi semua perjanjian hak asasi manusia, terutama kriminalisasi dan larangan penyiksaan dan pembatalan Pasal 106 dan 110. Selain itu, pemerintah Indonesia diharapkan meninjau kebijakan kepolisian di Papua dan pelatihan pasukan keamanan untuk memastikan bahwa hak kebebasan berekspresi dan berkumpul secara damai sepenuhnya dihormati. ICP juga merekomendasikan adanya pembebasan tanpa syarat para tahanan politik Papua Barat sebagai bagian dari kebijakan yang komprehensif untuk mengakhiri hukuman kebebasan berekspresi.
    “Indonesia juga diharapkan memenuhi komitmennya untuk menerima kunjungan dari Pelapor Khusus tentang Kebebasan Berekspresi dan memfasilitasi akses terbuka dan bebas ke Papua.” tambah Budi.
    Frank La Rue, pelapor khusus PBB untuk Kebebasan Berekspresi saat ditemui usai sesi dialog dengan misi negara dan Organisasi Non Pemerintah, mengatakan masalah kebebasan berekspresi di Papua mendapatkan perhatian cukup besar dari dirinya sebagai pelapor khusus. Terutama, karena dirinya sendiri tidak mendapatkan kases untuk mengunjungi Papua beberapa tahun lalu.
    “Saya tahu masalah kebebasan berekspresi di Papua. Terima kasih sudah menyampaikan pernyataan yang sangat kuat. Tahun ini mungkin saya tidak terpilih lagi sebagai pelapor khusus untuk Kebebasan Berskpresi. Tapi masalah kebebasan berekspresi di Papua ini akan terus menjadi perhatian pelapor khusus selanjutnya.” kata Frank La Rue kepada Jubi. (Jubi/Victor Mambor)

HARI INI ICP GELAR EVENT PUBLIK TENTANG KEBEBASAN BEREKSPRESI DI PAPUA DI SEKRETARIAT PBB, JENEWA

HARI INI ICP GELAR EVENT PUBLIK TENTANG KEBEBASAN BEREKSPRESI DI PAPUA DI SEKRETARIAT PBB, JENEWA

    Bendera 
negara-negara anggota PBB di depan sekretariat dewan HAM PBB 
(Jubi/Victor Mambor)
    Bendera negara-negara anggota PBB di depan sekretariat dewan HAM PBB (Jubi/Victor Mambor)
    Jayapura, 12/6 (Jubi) Seperti biasanya, tradisi persidangan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyediakan ruang publik untuk perwakilan misi (negara) atau komunitas masyarakat sipil menyelenggarakan sebuah side event selama persidangan berlangsung. Ruang publik ini juga dimanfaatkan Koalisi Internasional untuk Papua (ICP) untuk menyelenggarakan sebuah event tentang masalah Kebebasan berekspresi di Papua.  
    “Papua Barat di Indonesia menjadi wilayah konflik yang terisolasi dari mekanisme PBB, wartawan asing dan pengamat independen. Masyarakat adat Papua banyak yang dipenjara karena menyampaikan ekspresi dan opini politik secara damai.” demikian rilis ICP yang diterima Jubi, Kamis (12/6).
    Melalui siaran persnya ini, ICP menyampaikan akan menyelenggarakan sebuah event publik pada hari ini (12/06), pukul 14.25 waktu setempat (Jenewa) atau sekitar 21.25 Waktu Papua.
    Event publik yang diselenggarakan di Ruang XXII, Palais des Nations, Geneva ini bisa diikuti secara live melalui pranala http://www.ustream.tv/channel/human-rights-papua
    Pembicara dalam event publik ini adalah :
    - Victor Mambor, Pemimpin Redaksi tabloidjubi.com dan Ketua Aliansi jurnalis Independen Jayapura
    - Esther Cann, kordinator Kampanye Tapol, UK
    - Budi Hernawan, perwakilan Franciscans International, New York
    - Benjamin Joku  dari Pro Papua Foundation, Netherlands
    Moderator: Norman Voß, International Coalition for Papua. (Jubi/ICP/Mecky Wetipo)

Minggu, 01 Juni 2014

Konseptor, Kreator, eksekutor Dan Donator Perang Suku di Timika

Konseptor, Kreator, eksekutor Dan Donator Perang Suku di Timika


Perang Suku, bisni TNI / POLRI
Timika, KNPBNews - TIAP Minggu Kacau (TIMIKA) Minggu-Minggu Kacau (MIMIKA) itulah kepanjangan Bahasa Dari TIMIKA Dan MIMIKA, Kekacauan ITU Datang Bahasa Dari mana berikut Gambaran singkat:
1.       Kekacauan Datang Bahasa Dari PT. Freeport Indonesia.
Bahasa Dari sejak masuknya PT. Freport Indonesia dikorban BANYAK rakyat. PT. Freeport masuk sejak 1967 Diposkan oleh Indonesia dilakukan Amerikat Serikat Dan sebelum Indonesia menguasai Diatas Tanah Papua. PT. Freeport regular tidak melibatkan penandatangan MoU Artikel Baru 'masyarakat pribumi Yang Punya hak ulayat. PT.Freport Hadir kepentingan amerika Serikat sebelum melaksanakan PEPERA Tahun 1969. PT. Freeport masuk ditanah Papua Overdue pemusnahan * Bagi Bangsa Papua, PT. Freepor Hadir untuk mengacau balaukan kerukunan antar suku-suku Yang Biasa Hidup rukun Dan sebelum tentran masuk Freeport Dan Freeport Hadir untuk menciptakan konflik antar suku Artikel Baru Dana Satu persen khususnya. Dana Satu persen khususnya adalah untuk membiayai perang suku di Timika, Freeport adalah konseptor, kreator Dan donator untuk pembunuhan Bangsa Papua PADA umumnya Dan PADA khususnya rakyat Papua di Timika, Freeport membiayai TNI / POLRI untuk membunuh Pejuang kebenaran di Timika, seperti Jenderal Kelly Kwalik. Jadi TIAP Minggu Kacau (TIMIKA) Dan Minggu-Minggu Kacau (MIMIKA) adalah konseptor, Kreator Dan Donator ialah Freeport milikini kapitalisme amerika Serikat.
2.       Kekacauan Datang Bahasa Dari Pemerintah Daerah Kabupaten Mimika
TIAP Minggu Kacau (TIMIKA) Dan Minggu-Minggu Kacau (MIMIKA) adalah otak juga adalah Pemerintah Daerah Mimika, Mengapa? KARENA Pemerintah Daerah Mimika Biasa membiaya Makanan lihat detail, Minuman, Kendaraan Dan dana untuk melancarkan perang suku di Timika, umpanya perang suku di Kwamki Lama, Sekitar 50 Kali perang. Penghasilan kena sekian Puluhan Wire color Kawat warna ratusan bahkan ribuan Wire color Kawat warna orangutan Korban Artikel Baru perang, Penghasilan kena ITU Pemerintah Daerah Mimika mengiapkan dana Bayar Kepala. Masyarakat industri tahu bahwa Penghasilan kena kitd perang Nanti kitd dapat Uang Jutaan perkepala Maka 'masyarakat Biasa berperang. Masyarakat regular tidak Pikir bahayanya perang. Masyarakat Menjual Nyawa Artikel Baru Uang Indonesia. Masyarakat regular tidak Pikir Hidup Suami Satu Kali Saja Dan regular tidak ADA kesempatan Penghasilan kena meninggal. Jadi TIAP Minggu Kacau (TIMIKA) Dan Minggu-Minggu Kacau (MIMIKA) diciptakan Diposkan oleh Pemerintah Timika, bahkan Pemerintah Propinsi juga terlibat seperti kemarin tanggal 27 Mei 2014 rombongan Gubernur Hadir menjanjikan untuk membayar Akan perkepala.
3.       Kekacauan Datang Bahasa Dari Militer Republik Indonesia di Timika
Hukum Indonesia tak berguna justru Uang Yang berperang demi Nyawa orangutan berbaring, dimana ADA masalah disitu ADA Proyek sifat Dan watak Militer Indonesia. Kalau regular tidak ADA masalah atau perang suku Nanti dompet TNI / POLRI Akan Habis itu, maka hal-Hal inisial sering terjadi Papua Dan Timika PADA khususnya. Memucat ironis Lagi perang antar nama kelompok di Timika juga pemegang Hukum Dan ham Polisi Dan Tentara juga memanfaatkan situasi perang nihil. Aparat kemanan menjadikan Bisnis Lahan. Perang antar Kelompok projek menjadikan. Perang Suku Suku Dani ANTARA Dan Moni Suami Pemerintah Timika membayar Uang untuk memberikan alt Proses penyelesaian konlik vertikal kepada pihak keamanan yakni Polisi Mencari Google Artikel Baru Rp. 1 Milyart Dan pihak Tentara 1 Milyart.
Uang-Uang Suami untuk demi alt Proses penyelesaian dibayar Uang namun masalah belum menghasilkan berdamai kedua belah pihak.
Didalam perang suku BANYAK oknum terlibat terlibat yakni Inteljen Negara Indonesia (Bin), TNI-Polri Memfasilitasi seperti MAKANAN, Gross profit Kamar Rooms, Transportasi.Tiap Minggu Kacau (TIMIKA) Dan Minggu-Minggu Kacau (MIMIKA) konseptor, Kreator dan dan eksekutor ialah BIN, BAIS , Barisan Merah Puitih, LMA Dan TNI / POLRI untuk memperbesar dompet mereka. Rakyat regular tidak ADA untungnya.
4.       Kekacauan Datang Bahasa Dari Orang Indonesia (Melayu)
TIAP Minggu Kacau (TIMIKA) Dan Minggu-Minggu Kacau (MIMIKA) juga Datang bahasa Dari orangutan pendatang Yang Datang di kota Timika untuk MENCARI Makan, Orang pendatang rakyat Indonesia memakai Artikel Baru Alat Tajam seperti Panah Wayar, Parang Panjang, Dan dibekap Diposkan oleh TNI / POLRI Artikel Baru senjata. Terkait masih berlangsung Kali masalah ANTARA orangutan Papua Dan orangutan Melayu (Indonesia) terjadi dipihakrakyat Indonesia dibekap Diposkan oleh TNI / POLRI Artikel Baru kekuatan senjata. Kalau 'masyarakat Papua Papua Sendiri Artikel Baru regular tidak mereka Biasa respon KARENA regular tidak ADA Nanti Uang Pengamanan, TNI / POLRI Biasa tunggu Wire color Kawat warna jatuh Korban melewati Puluhan orangutan atau ratusan orangutan Penghasilan kena TNI / POLRI mengaduh dana Ke Pemerintah Dan DPRD jadi Yang Biasa menyetujui untuk TIAP Minggu Kacau ( TIMIKA) Dan Minggu-Minggu Kacau (MIMIKA) ialah Aparat Penegak Hukum Republik Indonesia di Timika-Papua
5.       Kekacauan Datang Bahasa Dari Orang Papua Yang dipakai Diposkan oleh Militer Indonesia.
TIAP Minggu Kacau (TIMIKA) Dan Minggu-Minggu Kacau (MIMIKA) juga Yang menjadi eksekutor di Lapangan ialah anggota Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Intelijen stategis (BAIS), Lembaga Musyawarah Adat (LMA), Barisan Merah Putih (BMP). Anggota BAIS orangutan Papua Yang masuk kedalam merencakan yang strategis untuk baku perang Dan anggota BIN orangutan Papua Yang masuk kedalam Akan eksekuti dilapangan. Sistem adalah otaknya BIN Dan BAIS Maka Kepala perang dikendalikan Diposkan oleh BIN Dan BAIS, apalagi 'masyarakat gunung ITU kalau perang antar suku Komando jadi Gampang Sekali BIN Dan BAIS Bermain ditingkat inisial. Perang Suku juga terstrukur seperti ADA Kepala perang, komanda untuk Net, Komandan Intelijen, Komandan Strategis, Komandan Manulife, logistik Komandan, PT BERLIAN LAJU Komandan Dan Laporan Perubahan. Jadi disitu BAIS Dan BIN Bermain.
Perang suku ANTARA Dani Dan Moni Yang Tanggal Gabung berlangsung di Timika SAAT Pemilihan Legislatif (Pileg) PADA tanggal 9 April 2014, BIN, BAIS Dan TNI / POLRI suruh berhenti perang, memang PADA SAAT ITU 'masyarakat berhenti, aceh inisial 30 Mei 2014 Suami juga Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Kabupaten Mimika Dan BAIS, BIN Dan TNI / POLRI suruh 'masyarakat berhenti mereka Dengar Dan doa aceh inisial' masyarakat regular tidak perang. Alt Inilah Parts Bukti-Parts Bukti TNI / POLRI Dan BIN Dan BAIS Bermain.
FOTO-FOTO DAN VIDEO BISA ANDA 

Lighting the way for women in business

Updated 30 May 2014, 15:22 AEST
Many regional communities rely on solar power. But who is there to fix the systems when they break down?
In Solomon Islands, as in much of the Pacific, solar power has become an increasingly important source of energy and brought widespread benefits to communities.
Solar power brings light, improves health, charges mobile phones and saves people money spent on petrol, diesel and kerosene.
But as solar power spreads it brings other opportunities as well, and on the island of Malaita, an innovative program is providing women with the technical expertise and business skills to establish their own solar power maintenance businesses.
Last year, solar panels were rolled out to communities across Malaita.
But there was a problem with maintenance, in that the people trained to maintain and repair the systems were based in urban centres like Auki and Honiara, not in the villages where their assistance was needed.  They rarely made it out to the villages, and as a result the systems were not being maintained and households were in danger of losing their new power supplies.
So the Asian Development Bank's Pacific Private Sector Development Initiative (PPSDI) launched a pilot program to fix these issues, and also provide economic benefits to women.
Local people from villages in south west Malaita would be trained in solar power maintenance, and women would be particularly encouraged to participate.  The program would not only keep the solar power systems up and running, but it would also equip Solomon Islands women with the technical and business skills to start and run a local solar maintenance and repair business.
Participants and trainers pictured at the training in Honiara, Solomon Islands.Vij Nagarajan is pictured on the far right (Photo courtesy of ADB)
Participants and trainers pictured at the training in Honiara, Solomon Islands.Vij Nagarajan is pictured on the far right.
Photo: Asian Development Bank (ABC Licensed) 
After consultations with the community based NGO West Are'are Rokotanikeni Association, twelve women and seven men were selected for training.
The participants were brought together for two days of training in Honiara.  Business training was provided, including information about how to register a business.
However the primary aim was to teach the trainees how to maintain the solar power systems - both the panels and the batteries - and very importantly, how to keep written maintenance records to comply with warranty conditions.
The nineteen trainees have now completed their initial training, and have returned to put their skills to use in their communities.  Following on from that, trainers will visit the participants every two months for a year.  The next visits will be in July, when the trainees will be given a video that demonstrates how the maintenance of the solar panels should work.
But since this project is also about economic empowerment, how will all of this training translate into dollars and cents - and importantly, new businesses?
ADB Gender specialist Vijaya Nagarajan says that when the panels were rolled out last year, each household contributed $1000 Solomon dollars to a maintenance fund controlled by the government.   That money was to pay for two years' maintenance of the solar power systems, and it will now be used to pay the new trainees for their maintenance work.  After that two year contract expires, she hopes that their businesses will be able to diversify and grow.
"We're hoping that earning this money will help them to start up other things . . . some of them may start up little businesses for charging phones, or maybe refrigeration businesses . . . So we're hoping they'll get a taste for entrepreneurship and be able to put some money aside, not just for school fees but perhaps a little bit more business activities.
"We're also hoping that on the consumer side, people get used to having this well maintained solar energy so they'll be willing to pay a bit for it after the end of two years.  And we're hoping that this will bring about change slowly but surely."
West 'Are 'are community members receiving their certificates after successfully completing the training (Photo courtesy of ADB)
West Are'are community members receiving their certificates after successfully completing the training.
Photo: Asian Development Bank (ABC Licensed)
Listen to Heather Jarvis' interview with Vijaya Nagarajan on Radio Australia
- See more at: http://australiaplus.com/pacific/2014-05-30/lighting-the-way-for-women-in-business/1319590#sthash.7SvEVhCQ.dpuf

Pada 20 September 1960, Gosewisch mendirikan Eenheidspartij Nieuw Guinea (Epang) atau Partai Persekutuan Nieuw Guinea.


Ilustrasi, tentara Papua pra kemerdekaan Papua, 1 Desember 1961. Foto: Ist.

Pada 20 September 1960, Gosewisch mendirikan Eenheidspartij Nieuw Guinea (Epang) atau Partai Persekutuan Nieuw Guinea.

Diketuai oleh Lodewijk Mandatjan dan Gosewisch sebagai wakilnya, partai ini mendapat dukungan dari sebagian besar masyarakat Arfak. Program-programnya adalah sebagai berikut:

Pertama, mempertahankan kerja sama bidang sosial, ekonomi, dan politik.

Kedua, memelihara hubungan dengan pemerintah Belanda.

Ketiga,
memprioritaskan bahasa Belanda.

Keempat, kemerdekaan bagi Papua dalam 15 tahun mendatang.

Kelima, pasifikasi dengan penduduk di pedalaman.

Keenam, membangun hubungan baik dengan Australia.

Ketujuh
, menolak komunisme dan diskriminasi rasial.

Kehadiran Epang di Manokwari memperlihatkan kesamaan dengan DPV di Hollandia yakni adanya dominasi kaum Indo-peranakan. Epang dan PVP tidak bisa tampil sebagai partai sebagai partai yang mewakili kelompok Indo-peranakan dalam politik.

Mayoritas anggota badan pengurusnya didominasi oleh kaum Indo-peranakan dan Tionghoa. Partai ini sangat mendukung Belanda.

Epang adalah satu-satunya partai kala itu yang melibatkan orang Belanda dan Indo-peranakan dalam badan pengurusnya. Barangkali karena itu, partai ini berpeluang besar untuk berhasil, juga karena Lodewijk dan Bernard Mandatjan sebagai pengurus cukup berpengaruh terhadap suku Hattan di pedalaman Manokwari.

Komunikasi dengan suku-suku pedalaman dinilai penting, sebab dukungan mereka vital agar kaum Indo-peranakan dapat tinggal di Papua. Keberhasilan Gosewisch membina hubungan dengan suku Arfak ternyata justru menciptakan jarak antara warga pesisir dan orang pedalaman.

Timbul ketakutan pada masyarakat pantai bahwa penduduk pedalaman akan memeroleh dukungan dari orang Eropa. Penduduk pesisir menganggap suku Arfak pasif dalam politik.

Pada 2 dan 3 Oktober 1960, Epang menyelenggarakan pertemuan untuk menyampaikan program mereka, terutama menginformasikan rencana pemilihan Dewan Nieuw Guniea kepada warga pedalaman.

Bersambung ke Bagian IV: Partai Orang Nieuw Guinea