Sabtu, 24 Mei 2014

Papuan Students Solidarity Demo staged demonstrations in from HI to move forward Istanah State Office of PT Freeport Indonesia , Plaza 89 , Kuningan , South Jakarta , Tuesday ( 20/05/2014

Papuan Students Solidarity Demo staged demonstrations in from HI to move forward Istanah State Office of PT Freeport Indonesia , Plaza 89 , Kuningan , South Jakarta , Tuesday ( 20/05/2014 ) ., Seruu.com - Hundreds of masses on behalf of the Student Solidarity of Papua staged a demonstration in front of the office of PT Freeport Indonesia , Plaza 89 , Kuningan , South Jakarta , Tuesday ( 05/20/2014 ) .
 
The action takes place initially peaceful turned chaotic when about 200 of the mass of trying to rush into the building . However , this action was blocked by around 50 police officers were on guard . No doubt , the mass was raging and then broke the glass in the lobby of the building . Anticipate unwanted things , the building management finally shut down the power and lift .
However, the police managed to hold vigil mass . However , the protesters still survive and continue demonstrations in the lobby area outside the Plaza Building 89 .
Outside the building lobby , the mass was burning old tires and some dry twigs demands while continuing to deliver their speeches . In anticipation of further action , this time hundreds of members of the Mobile Brigade has been deployed to the scene .
Meanwhile , the contents of which they distributed leaflets , the students demanded that PT Freeport closed because it is considered detrimental to the people of Papua . They also threatened to boycott the 2014 presidential election



Sikap Kita [Bangsa Papua] Pada Pilpres Indonesia



Saat KNPB demonstrasi di Jayapura. Foto: Ist.

Sikap Kita [Bangsa Papua] Pada Pilpres Indonesia

Untuk Pemilu Presiden (Pilpres) Indonesia nanti, pandangan dan sikap politik kita jelas, tidak berubah, tidak plin-plan dan tidak berbelok-belok. Yakni, Pilpres Indonesia merupakan agenda negara kolonial Indonesia yang harus disikapi dengan penolakan dan perlawanan sipil melalui aksi boikot oleh segenap bangsa Papua, diatas teritori West Papua.

Perjuangan bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri berada pada posisi yang jelas dan tegas. Bukan pada posisi abu-abu. Karena itu, kita tidak akan terbawa dalam arus euforia politik bernegara milik kolonial Indonesia. Itu berarti, kita tidak memiliki kepentingan dan urusan dalam menilai, mendukung, apalagi memilih salah satu calon Presiden Indonesia, sebaik dan seburuk apapun Capres dan visi-misinya.

Struktur dan alat kekuasaan kolonial Indonesia diatas teritori West Papua, dengan kekuatan media, sedang mengkondisikan sistem pemikiran dan sikap kesadaran bangsa Papua kedalam hegemoni kolonial Indonesia. Melalui TV, Radio, Koran, dan Internet, mereka menghasut bangsa Papua. Mereka janjikan program-program ilusi yang tidak akan berhasil, dan sudah tidak berhasil dijalankan selama 52 tahun di atas tanah Papua.

Fokus bangsa Papua hari ini adalah menyolidkan barisan perlawan rakyat sipil di semua tingkatan. Bicarakanlah perjuangan melawan kolonialisme kepada temanmu di sekolah/kampus, keluargamu di rumah, jemaatmu di Gereja, dan dimanapun. Ajaklah mereka untuk membuang ilusi-ilusi dalam kolonial Indonesia, dan berjuang menyelamatkan bangsanya dari ancaman kolonial Indonesia. Serukan, sebarkan dan kobarkan perlawanan rakyat sipil Papua agar tidak turut serta (boikot) pada Pilpres milik kolonial Indonesia nanti.

Kita Harus Mengakhiri
Karena yang tersisa sisa-sisa
Salam perlawanan

Victor F. Yeimo

Ketua Umum KNPB
Penjara Abepura, 24 Mei 2014

Senin, 12 Mei 2014

KETIKA ISU PAPUA MERDEKA DAN REFERENDUM JADI NILAI TAWAR

KETIKA ISU PAPUA MERDEKA DAN REFERENDUM JADI NILAI TAWAR

Sejumlah masyarakat Papua di Kabupaten Nabire, Juni 2012,  membakar peti mati bertuliskan almarhum Otsus, sebagai buklti kegagalan UU Otsus Papua (Foto: Ist)
Sejumlah masyarakat Papua di Kabupaten Nabire, Juni 2012, membakar peti mati bertuliskan almarhum Otsus, sebagai buklti kegagalan UU Otsus Papua (Foto: Ist)
Mengintip Isi Draf RUU Otsus Plus Papua (Bagian 4)
Oleh: Oktovianus Pogau*

Draf keduabelas RUU Otsus Plus yang diparipurnakan pada 20 Januari 2014 di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) Jayapura, sebelum diserahkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di Jakarta pada 9 Februari 2014, tercantum sebuah pasal yang mengatur soal referendum.
Timotius Murib, Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) mengaku memang pasal tersebut ada, dan sengaja dimasukan untuk mewanti-wanti jika pemerintah pusat di Jakarta menolak draf RUU Otsus Plus yang diajukan pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat.
“Apabila Undang-Undang ini tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah secara konsisten dan konsekuen, serta tidak membawa manfaat yang signifikan bagi upaya-upaya peningkatan taraf hidup, derajat hidup, kesejahteraan orang asli Papua, atas prakarsa Majelis Rakyat Papua dapat diselenggarakan referendum, yang melibatkan orang asli Papua di Tanah Papua untuk menentukan nasibnya sendiri,” demikian bunyi pasal 299 di draf keduabelas yang dimaksudkan Murib.
Menurut Ketua MRP, pasal tersebut merupakan usulan rakyat Papua saat berlangsung evaluasi Otsus versi orang asli Papua pada 24 – 27 Juli 2013 di Jayapura, Papua. Pertanyaannya, apakah ada peserta dari tujuh wilayah ada di tanah Papua yang mengusulkan diselenggarakan referendum jika Otsus Plus ditolak Jakarta?
Setahu saya, tidak pernah ada rekomendasi seperti itu. Yang ada hanya dua rekomendasi lain, pertama, membuka ruang untuk dialog antara rakyat Papua dengan Pemerintah Pusat yang dimediasi oleh pihak netral dan dilaksanakan ditempat yang netral; dan kedua, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua tidak boleh diamandemen sebelum melakukan Dialog Jakarta-Papua sebagaimana disebutkan pada point (1) rekomendasi ini.
Dalam hal ini, Ketua MRP bisa dikatakan telah melakukan pembohongan public; juga bisa saya katakan, Ketua MRP sebenarnya sedang mengadaikan isu referendum untuk meloloskan kepentingan para elit birokrasi, terutama demi kepentingan diloloskannya RUU Otsus Plus.
Gubernur Papua, Lukas Enembe juga mengatakan jika draf Otsus Plus ditolak pemerintah pusat di Jakarta, artinya memberikan kesempatan dilakukannya referendum untuk menentukan nasib sendiri (self determination) bagi orang asli Papua.
“Mau tidak mau, semua pasal diterima kalau ini (pasal 299) mau dicabut. Ini pasal bargening,” tegas Gubernur Papua kepada wartawan di Jayapura.
Gubernur Papua juga mengakui draft yang akan diajukan ini nantinya akan mendapat supervisi dari pihak Kementerian Dalam Negeri, namun ia memastikan dalam upaya meloloskan seluruh draft Otsus Plus, pihaknya untuk sementara akan berkantor di Jakarta hingga Undang-Undang Otsus Plus disahkan oleh DPR RI.
Penulis sendiri, bukan orang yang anti pada referendum, tapi tidak setuju jika kata referendum dipakai sebagai nilai tawar pejabat-pejabat di tanah Papua untuk kepentingan uang, kekuasaan, dan jabatan. Ini sama sekali tidak bisa dibenarkan! Harus diketahui, ada banyak orang Papua yang gugur karena berteriak Papua Merdeka dan referendum. Sebut saja Theys Elluay, Dr. Tom Wanggai, Jhon Mambor, Mako Tabuni, Hubert Mabel, dan masih banyak lagi yang akan menjadi korban dikemudian hari.

Papua Barat “Marah” Ada Pasal Referendum

Gubernur Papua Barat, Abraham Octavianus Ataruri jelas marah besar mendengar ada pasal 299 yang mengatur soal referendum bagi orang asli Papua. Kepada media massa, Bram mengatakan telah langsung mengirimkan surat kepada Presiden SBY melalui Mendagri perihal penolakan pasal tersebut.
“Ini yang tidak bisa dimengerti, belum apa-apa sudah mengancam untuk meminta referendum. Keberadaan RUU ini tidak boleh mengancam NKRI. Terlebih dahulu RUU ini perlu diberi pembobotan oleh pemerintah Provinsi Papua Barat. Saya perlu sampaikan, bahwa Papua bagian sah dari NKRI. Kalau ada yang lain, itu urusan Tuhan,” tandas Bram.
Wakil Ketua I DPR Papua Barat, Jimy Idjie juga mengaku mengatakan NKRI tidak boleh diancam dengan pasal-pasal yang seperti itu, apalagi Papua masih berada dalam wilayah Indonesia.
“Pasal 299 tersebut adalah pasal pertama yang akan dihapus oleh pemerintah atau Kementerian Dalam Negeri ketika memberikan supervisi,” katanya.
Di sisi lain, Jimmy mengakui, memang keberadaan Pasal 299 tersebut ada baiknya untuk memastikan Pemerintah Pusat benar-benar menjalankan secara konsisten setiap sisi dari peraturan tersebut.
“Tapi kita harus menyadari bahwa kegagalan UU Otsus sebelumnya, tidak sepenuhnya disebabkan oleh Pemerintah Pusat. Justru faktor terbesar adalah orang-orang yang menjalankan dan menerima manfaat dari Otsus. Kita juga berkontribusi yang sangat besar dalam kegagalan UU Nomor 21 Tahun 2001,”ujarnya singkat.
Namun, secara garis besar Jimmy mendukung RUU Otsus Plus karena bisa menjawab berbagai permasalahan yang ada di Papua.
“Rancangan ini ditujukan untuk memperjuangkan persamaan hak orang Papua sebagai kelompok minoritas dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, untuk dihormati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya,” katanya.
Agus Sumule, salah satu tim asistensi RUU Otsus Plus dari Papua Barat menyatakan tak perlu ada pejabat yang menggunakan pasal referendum sebagai nilai tawar ke pemerintah pusat, sebab yang berhak menuntut referendum adalah gerakan sipil dan politik di tanah Papua yang menginginkan kemerdekaan Papua.
Yang dikatakan oleh Sumule ada benarnya. Sebab, yang selama ini menuntut kemerdekaan Papua melalui referendum, atau cara-cara bermartabat lainnya adalah gerakan sipil dan politik seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Front PEPERA, Garda-P, Negara Federasi Papua, dan TPN-OPM, dan masih banyak lagi.
Tanggapan Gerakan Pro-Kemerdekaan
KNPB yang selama ini lantang “berteriak” referendum jelas terganggu dengan pernyataan Ketua MRP maupun Gubernur Papua terkait pasal 299. Ketua I KNPB, Agus Kossay mengaku tertawa geli mendengar referendum dijadikan nilai tawar Gubernur Papua dan Ketua MRP kepada pemerintah pusat di Jakarta agar RUU Otsus Plus diloloskan.
“Kami minta kepada Pemerintah Pusat, untuk jangan serta merta menerima tawaran yang disampaikan oleh Gubernur Lukas Enembe. Kami KNPB atas nama rakyat Papua Barat meminta kepada para pejabat di Provinsi Papua bahwa jika minta sesuatu ke Jakarta, jangan lagi memboncengi dengan isu Papua Merdeka atau referendum,” tegas Kossay.
Kossay mengatakan, isu referendum bukan tempat atau lahan untuk mencari makan dan minum, serta untuk mencari jabatan.
“Karena referendum itu sama saja dengan perjuangan Papua Merdeka untuk memisahkan diri dari Negera Indonesia, melalui forum resmi internasional. Ini yang harus diketahui oleh gubernur dan MRP bersama jajarannya,” tegas Kossay kepada wartawan di Jayapura, menanggapi pasal 299 yang ramai dibicarakan.
Banyak aktivis dan mahasiswa di media social, baik melalui twitter maupun Facebook yang ramai membicarakan inisiatif “konyol” MRP dan pemerintah provinsi Papua yang memasukan pasal referendum di dalam RUU Otsus Plus.
“Jangankan untuk meloloskan RUU Otsus Plus, soal pemekaran sebuah wilayah di Papua saja, para pejabat selalu memakai kata OPM, Referendum, dan Papua Merdeka. Ini memang watak yang sangat bobrok dari pejabat-pejabat Papua,” tulis Sonny Wanimbo, salah satu mahasiswa Papua di Jakarta melalui laman Facebooknya.
Anton Tabuni, selaku Sekjend Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) menuturkan pihaknya tak pernah berdialog dengan Pemerintah Indonesia tentang Otsus Plus.
“Kami hanya minta merdeka. Para pejabat Gubernur, Ketua DPR, MRP, jangan mengatasnamakan TPN-OPM, terutama Panglima TPN-OPM Goliat Tabuni, dalam meminta persetujuan Draft Otsus Plus atau Draft RUU Pemerintahan Otsus. Itu bukan pilihan kami. Kami berjuang dengan berbagai penderitaan selama 50 tahun untuk merdeka diatas tanahnya sendiri,” tegasnya kepada media Suara Pembaharuan, ketika diminta tanggapannya.
“Itu bukan aspirasi kami. Jadi hati-hati. TPN-OPM tidak akan mundur selangkah pun untuk memperjuangan kemerdekaan kami,” katanya lagi.
Pikir Ketua MRP beserta anggota, juga Gubernur Papua adalah apabila ada pasal yang mengatur soal referendum, maka akan mendapat simpati public di tanah Papua, kenyataan tidak demikiaan, mereka semakin ditertawakan karena berusaha gadaikan sebuah ideology dengan kepentingan sesaat.
Seorang sumber yang hadir dalam pertemuaan dengan Presiden SBY, pada 9 Februari 2014 di Istana Cikeas, Bogor, menuturkan sebelum pertemuaan dilangsungkan, pasal 299 yang mengatur soal referendum telah dihapus.
“Jadi, draf yang diserahkan kepada Presiden SBY adalah draf ketigabelas, bukan draf keduabelas seperti yang pernah diparipurnakan di Jayapura oleh DPRP. Dan pasal yang membahas referendum sudah dihapus,” ujar sumber ini.
Sudah jelas motivasinya bukan? Mengancam Jakarta agar draf RUU Otsus Plus diterima; juga dengan hadir pasal tersebut agar mendapat dukungan public! Tapi sayang beribu sayang, public sama sekali tidak memberikan dukungan, justru mengecam cara-cara bobrok tersebut.
Penyempurnaan Draf di Jakarta

Telah disebutkan pada tulisan bagianketiga, pada draf ketigabelas RUU Otsus Plus yang diserahkan kepada Presiden SBY di Jakarta, tak terdapat tanda tangan persetujuaan dari Gubernur Papua Barat. Mendagri yang hadir pada pertemuaan juga pada pertemuaan tersebut diminta untuk memediasi “kisruh” yang terjadi antara dua Gubernur asal tanah Papua ini.
Kementerian Dalam Negeri melalui Dirjen Otonomi Daerah bekerja cepat. Pada 11 Februari 2014, tim asistensi kedua Provinsi diundang secara resmi untuk membahas draf tersebut. Dalam undangan, pertemuaan akan dilakukan pukul 11.00 Wib, namun dipercepat ke pukul 09.00 Wib di Kantor Dirjend Otda.
Dirjend Otda yang diwakili oleh Direktorat Penataan daerah, otonomi Khusus dan dewan Pertimbangan otonomi Daerah membuka pertemuaan, sekaligus memberikan kesempatan kepada kedua tim asistensi untuk memaparkan pandangan, sekaligus teknis untukmensinkronkan kedua draf tersebut.
Utusan Papua Barat diwakili Sekertaris Daerah Isak Halatu dan Kordinator Tim Kerja Agus Sumule. Halatu menyatakan bahwa ia hanya membawa satu pesan dari Gubernur Papua Barat, yakni, kedua tim asistensi diminta untuk kembali ke tanah Papua, dan mensinkronkan dua draf yang belum disinkronkan.
“Karena banyak pembobotan yang diberikan tim asistensi Papua Barat, namun belum diakomodir dalam draf ketigabelas. Kita bertemu di Jayapura, di Manokwari, atau di Biak adalah lebih baik, agar public juga mengetahui secara pasti,” tegas Halatu.
Mendengar sebuah usulan yang dianggap sebagai langkah mundur, salah satu tim asistensi dari Papua, Sendius Wonda menimpali Sekda Papua Barat.
“Kami telah memberikan waktu satu minggu kepada tim dari Papua Barat untuk mengerjakan draf tersebut, namun saat saya ke Manokwari, belum juga dibuat, dan apa yang diusulkan teman-teman dari Papua Barat dalam draf lalu, juga telah diakomodir,” kata Wonda.
Boy Dawir, salah satu anggota DPRP dari Partai Demokrat mengatakan bahwa adalah sebuah langkah yang mundur jika kembali dilakukan pembahasan di Papua.
“Kami orang Papua itu pantang untuk pulang sebelum dapat hasil,” kata Dawir membungkus maksudnya yang kalau diartikan ingin mengatakan jika sebelum draf RUU Otsus Plus disetujui Jakarta, maka tim tidak akan pernah pulang, dan sekaligus menolak usulan dari Papua Barat.
Yang lebih radikal lagi tanggapan Nason Uti, salah anggota DPRP yang juga dari Partai Demokrat. “Kami semua yang ada di dalam ruangan ini NKRI. Tapi kami tidak tau dengan orang-orang di Papua. Jika kami pulang dan RUU Otsus Plus belum disahkan, siapa yang mau tanggung jawab. Kami tidak akan tanggung jawab,” tegas Uti seraya mengancam.
Karena itu, Uti meminta agar pembahasan tetap dilanjutkan di Jakarta dan tidak kembali ke tanah Papua, karena hal tersebut merupakan sebuah langka mundur dari tim asistensi yang telah bekerja cukup lama.
Ketua MRP, TImotius Murib lebih parah lagi. Dengan nada mengancam mengatakan bahwa ia tidak akan keluar dari ruangan jika belum diagendakan waktu pertemuaan untuk membahas RUU Otsus Plus yang telah sampai di Jakarta.
“Kalian dua ini bukan orang asli Papua, kalian hanya datang dan cari makan di Papua. Orang di Papua minta referendum dan merdeka, kami ini yang berusaha setengah mati menahan mereka. Kalian dua mau tanggung jawab jika mereka minta merdeka,” kata Murib membentak, seraya menunjuk dua orang utusan dari Papua Barat yang kebetulan bukan orang asli Papua.
Timotius Murib lupa, atau memang tidak tahu kalau Agus Sumule lahir dan dibesarkan di Enarotali, Paniai, bersama masyarakat istrinya, yakni masyarakat Mee. Orang tua Sumule (Alm) telah berada di Enarotali sejak tahun 1964, dan merupakan Guru pertama Sekolah Guru Bawah (SGB) yang telah mendidik banyak guru-guru asli orang Papua.
Para murid dari orang tua Sumule ini yang membuka YPPGI, dan sekolah-sekolah lainnya di tanah Papua, hingga ke Selatan Papua di Merauke.
Halatu juga lahir dan besar di Wamena. Orang tuanya merupakan penginjil yang telah ada di Wamena sejak tahun 1960an. Orang tua Sumule dan Halatu berada di tanah Papua sebelum Timotius Murib melihat dunia. Jadi, adalah tidak etis, seorang Timotius Murib berkomentar demikian.
Agus Sumule ketika dimintai tanggapan terkait nada rasialis Ketua MRP mengaku tidak menyangkan seorang ketua MRP, yang merupakan jabatan representative dari unsure Agama, Perempuan dan Adat bisa berbicara demikian.
“Saya pribadi jika dipanggil bukan orang asli Papua, dikritik, dan dimarah, biasa-biasa saja, tapi jika mengatakan saya datang cari makan di Papua, hal itu tidak bisa saya terima, karena merupakan penghinaan, dan meruntuhkan martabat dan wibawa keluarga saya,” komentar Sumule singkat kepada media ini.
Dalam pertemuaan tersebut, nampaknya utusan dari Papua tetap memaksakan agar pembahasan tetap dilakukan di Jakarta, dan dianggap melanggar perintah presiden jika Kemendagri meminta kembali di bahas di Papua. Ancaman referendum dan Papua Merdeka juga terus dipakai oleh tim asistensi Papua, tujuannya agar proses pengesahan RUU Otsus Plus bisa segera dilakukan.
Karena komentar rasis Ketua MRP yang dianggap berlebihan dan tidak perlu membuat pertemuaan harus ditunda ke lain waktu. Kemendagri berjanji akan mengeluarkan undangan untuk pertemuaan berikut. Sementara itu, Sekda Papua Barat menghubungi tim asistensi dari Papua Barat yang terdiri Yan Christian Warinussy, Simon Banundi, Abner Wabdaron, serta dua orang lainnya untuk datang ke Jakarta agar bisa dirinya dan Agus Sumule yang telah lebih dulu berada di Jakarta.
Sore hari, tanggal 12 Januari 2014, tim asistensi dari Papua Barat tiba di Jakarta, dan selanjutnya pada malam hari dilangsungkan pertemuaan di Hotel Aliya, Bilangan, Jakarta Utara. Di tempat, pembobotan yang dimaksud dan diinginkan oleh tim asistensi dari Papua Barat diakomodir, walaupun banyak yang tak sesuai dengan harapan dan keinginan.
Selanjutnya, dilakukan pertemuaan ulang pada tanggal 13, 14, dan 15 di Hotel Lumire, Senen, Jakarta Pusat. Dalam pertemuaan-pertemuaan tersebut, tim Asistensi Papua Barat memberikan pembobotan agar RUU Otsus Plus semakin berkualitas, dan memberikan manfaat langsung kepada public di tanah Papua. Pada tanggal 15 Febaruari 2014, hasil akhir draf tersebut siap ditandatangani oleh kedua Gubernur.
Apa saja isi draf keempatbelas RUU Otsus Plus? Dan topic-topik apa saja yang menjadi perdebatan kedua tim asistensi? Nantikan pembahasan pada tulisan bagiaan kelima. Termasuk apa dan siapa orang asli Papua versi draf akhir tersebut. (Bersambung). 
*Oktovianus Pogau adalah wartawan, mengasuh situs berita dan informasi Suara Papua (http://www.suarapapua.com); tinggal di Jayapura.

CANDU PEMEKARAN DAN TANTANGAN PEMBARUAN IDENTITAS BUDAYA PAPUA

Kini, perbincangan dan gerakan-gerakan politik tentang pemekaran bagai candu bagi sebagaian (elit) rakyat Papua. Wacana ini berkembang dan menjadi topik hangat di media massa, para-para beberapa rumah masyarakat yang saya jumpai, hingga diskusi para dosen di sela-sela kelas perkuliahan di kampus saya. Tapi, ketika saya tanya mama penjual sayur dan pinang dekat asrama dosen tempat saya tinggal, mama menjawab enteng, “Epen kah barang itu.”

Namun, saya akan salah besar jika menganggap barang pemekaran ini tidak serius seperti yang diungkapkan mama penjual sayiur langganan saya. Pada sebuah kesempatan mengunjungi Kota Sorong akhir Januari 2014, saya menyaksikan dan menangkap kesan yang sangat gamblang bagaimana wacana pemekaran menjadi pembicaraan yang sangat menggairahkan. Paling tidak itu yang saya saksikan di ruang depan dua hotel yang cukup besar di Kota Sorong. Para elit-elit lokal dengan berpakaian rapi dan bersepatu kulit sejak dari sarapan hingga melewati makan siang hari begitu asyik berdiskusi menghabiskan waktu mereka ditemani rokok dan sirih pinang. Saya perhatikan dan mendengarkan beberapa bagian pembicaraanya seputar persoalan pemekaran daerah di kawasan kepala burung Papua.
Saya merasakan pergunjingan dan gosip politik yang tidak jelas ujung pangkalnya tentang pemekaran daerah menjadi candu yang menggiurkan sekaligus memabokkan, khususnya bagi para elit local dan secara pelan namun pasti hingga ke masyarakat akar rumput. Berita media-media massa pun membahas tentang pro dan kontra seputar wacana pemekaran daerah yang terus-menerus terjadi tanpa henti. Wacana pemekaran telah menjadi konsumsi publik dan menjadi penegasan bahwa perbincangan tentang politik menjadi hal yang dominan tentang Papua melebihi hal yang lain.

Beberapa bagian masyarakat dan elit local terus memperjuangkan pemekaran, sebagian elemen masyarakat lainnya justru menolaknya dengan berbagai alasan. Mulai dari membuka peluang migrasi para pendatang, ketersingkiran orang asli Papua di tanahnya sendiri, hingga korupsi ekonomi dan politik yang melibatkan para elit lokal Papua dan beberapa elemen masyarakat yang menjadi kolusinya. Cita-cita luhur pemekaran untuk mensejahterakan masyarakat seakan pelan namun pasti menjadi jauh dari harapan. Kesejahteraan rakyat telah dirampas oleh sebagian kelompok masyarakat dalam komunitas mereka sendiri. Intinya terjadi keterpecahan yang akut di tengah masyarakat antara yang berapi-api memperjuangkan pemekaran dan menolaknya karena akhirnya menjadi candu yang melumpuhkan.

Namun, rasionalitas pemekaran selalu mengedepankan persoalan ekonomi dan kesejahteraan selain alasan-alasan yang lainnya. Bagaimana dengan argumentasi kebudayaan ketika pemekaran diakui atau tidak menggunakan basis argumentasi etnik sebagai sebuah DOB (Daerah Operasional Baru)? Apakah pemekaran daerah pararel dengan kesamaan etnik dan wilayah-wilayah budaya di Tanah Papua ini? Apa implikasi jika fenomena ini terjadi di Tanah Papua ditengah interkoneksi global yang menuntut orang Papua selalu berkoneksi dengan dunia luar, bukan hanya komunitasnya sendiri.

Dilema Pembagian Wilayah Budaya
Wilayah Provinsi Papua Barat dalam pembagian 7 wilayah adat di Papua termasuk dalam wilayah budaya III Domberai (Papua Barat Laut) dan wilayah budaya IV Bomberai (Papua Barat). Wilayah budaya III Domberai terdiri dari 52 suku dan terletak di Papua Barat Laut sekitar Sorong Manokwari, meliputi: Manokwari, Bintuni, Babo, Wondama, Wasi, Sorong, Raja Ampat, Teminabuan, Inawatan, Ayamaru, Aifat, dan Aitinyo. Sementara wilayah budaya IV terletak di Papua Barat terdiri dari 19 suku terletak di wilayah Fakfak, Mimika dan sekitarnya yang meliputi: Fakfak, Kaimana, Kokonao, Mimika.

Pembagian wilayah budaya yang sering dikenal ini menurut Flassy (1995:11) merupakan salah satu alternatif yang bisa dilakukan untuk mengatasi kesukaran yang ditemukan dalam kekayaan diversitas budaya yang ada di Tanah Papua. Oleh sebab itulah dicari pemecahannya dengan jalan merduksinya ke dalam jumlah-jumlah yang lebih kecil melalui konsep “wilayah budaya”. Pengertian dari konsep ini adalah menyatukan sejumlah komunitas yang terdapat di seluruh daerah meskipun masing-masing relative masih memperlihatkan perbedaan yang bervariasi.

Reduksi budaya melalui pembagian wilayah budaya kini memantik kompleksitas persoalan seiring dengan perjalanan Papua menjadi wilayah yang terus berkembang dan mengalami transformasi social-budaya yang tak terhindarkan. Salah satu persoalan yang berada di depan mata adalah gairah pemekaran daerah yang tak terbendung di Papua yang menyeret persoalan sentimen kekerabatan (suku) dan juga etnik. Usulan DOB dikhawatirkan berimplikasi fragmentasi (keterpecahan) pada masyarakat Papua sehingga menimbulkan konflik yang berkepanjangan. Oleh sebab itulah menjadi patut dipertanyakan kembali reduksi budaya dalam 7 wilayah budaya di Tanah Papua apakah masih relevan untuk menjelaskan dinamika pemekaran daerah dan relasi-relasi sosial yang semakin kompleks ketika Tanah Papua sudah terinterkoneksi dengan dunia global.

Jika menelisik ke belakang, sejarah pemekaran di Tanah Papua berawal dari terpecahnya Provinsi Irian Jaya menjadi Irian Jaya Barat (kini bernama Provinsi Papua dan Papua Barat). Berdirinya provinsi baru yang nama sebelumnya adalah Irian Jaya Barat berawal dari dialog antara tokoh-tokoh masyarakat Irian Jaya Barat dengan pemerintah Indonesia pada 16 September 2002. Para tokoh-tokoh masyarakat Papua ini menyampaikan agar Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dan Menteri Dalam Negeri segera mengaktifkan kembali Provinsi Irian Jaya Barat yang sudah ditetapkan pad 12 Oktober 1999. Provinsi Irian Jaya Barat didirikan berdasarkan Undang-Undang No. 45/1999 dan dipercepat dengan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2003. Peresmian Kantor Gubernur Irian Jaya Barat dilakukan oleh Pejabat Gubernur Abraham Oktavianus Ataruri yang berlangsung pada 6 Februari 2003.

Terbentuknya kabupaten baru di Provinsi Papua Barat seperti Kaimana, Teluk Wondama, Sorong Selatan, Maybrat, dan dua yang terbaru yaitu Manokwari Selatan dan Pegunungan Arfak menggambarkan begitu bergairahnya keberlangsungan pemekaran daerah di wilayah Provinsi Papua Barat. Di tengah diversitas budaya yang tinggi di wilayah vogelkop (kepala burung) ini, selalu muncul keinginan untuk memecah wilayah kembali dalam bentuk kabupaten-kabupaten baru. Demam pemekaran sangat jelas terlihat dari keinginan beberapa elemen rakyat Papua untuk memekarkan daerahnya menjadi 33 DOB, 10 DOB adalah hasil pemekaran di Provinsi Papua Barat. Hal ini sangat mencengangkan sekaligus mengundang keprihatinkan akan proses dan dampak yang akan terjadi di kemudian hari.

Refleksi
Di tengah demam pemekaran ini, apakah rakyat Papua bisa mengembangkan identitas-identitas budayanya yang lebih inklusif? Fenomena pemekaran secara gamblang memaparkan bagaimana lokalitas kekuasaan begitu nyata terjadi. Pembagian wilayah-wilayah berdasarkan alasan etnik bahkan kekerabatan tidak terhindarkan. Nah, di tengah situasi pemekaran seperti ini, apakah pemakaran daerah memungkinkan bagi orang Papua untuk mengembangkan identitas-identitas baru yang lebih inklusif bukan ekslusif berbasis etnik atau bahkan marga tertentu.

Memikirkan untuk mengembalikan Papua ke titik asli budaya-budaya etnik di tengah interkoneksi global akan “mengkolonisasi” Papua menjadi wilayah eksotik, steril, dan tanpa sejarah. Padahal budaya Papua seharusnya dinamik dan menyejarah dan tidak terisolasi dari perkembangan dunia. Tapi, apakah pemekaran memungkinkan untuk lahirnya apresiasi terhadap pembahruan-pembaharuan kebudayaan yang melampaui etnik-etnik? Itulah letak persoalan dan tantangannya.

Pemekaran daerah adalah ruang dimana terjadi friksi (persentuhan) antara kebudayaan etnik dan introduksi kebudayaan luar. Dalam merespon friksi inilah orang Papua ditantang untuk berpikir dan mengembangkan pemikirannya untuk melahirkan kreatifitas-kreatifitas baru yang memungkinkan rakyat Papua memperoleh akses, ruang, dan ekspresi guna selalu memperbaharui identitas dan kebudayaannya. Tantangan pemekaran daearah adalah melawan pemikiran untuk mengembalikan identitas dan kebudayaan Papua ke titik asali tempo dulu. Ruang-ruang interkoneksi yang terjadi pada pemekaran inilah sebenarnya kesempatan rakyat Papua untuk memikirkan identitas dan kebudayaannya yang baru, yang akan terus bergerak dinamis, menyejarah. Di sanalah identitas Papua itu terus-menerus akan dipikirkan, dikonstruksi, dan diperdebatkan. Dengan demikian Papua menjadi hidup dan spirit yang akan terus menyala bagi generasi-generasi berikutnya di tanah yang diberkati ini.

Human Rights Law Centre urges Australia to end association with human rights abuse in West Papua

Human Rights Law Centre urges Australia to end association with human rights abuse in West Papua

May 6, 2014, The Director of Communications at the Human Rights Law Center in Australia urges the Australian government to “introduce laws that would minimise the risk of Australian policing or military assistance supporting human rights violators.”
The Australian government funds and trains Detatchment (‘Densus’) 88, an Indonesian anti terrorism unit which has been used to attack peaceful West Papuans who advocate for self determination. It has been trained in forensics, intelligence gathering, surveillance and law enforcement by the UK, Australia and the US. However, there are serious concerns about reports that Densus 88 is being deployed to tackle other issues, such as
alleged separatism in Papua.
The Human Rights Law Centre’s Director of Communication, Tom Clarke, said Australia’s support of Indonesia’s counter-terrorism unit, Detachment 88, was in desperate need of review.
“The Australian public can have no confidence that adequate steps are being taken to ensure Australia is not in any way complicit with human rights abuses occurring in Indonesia’s Papuan provinces,”
“Australia has an extremely dubious record when it comes to Papua – successive governments have turned a blind eye to the human rights abuses occurring on our doorstep. But if we want to avoid the mistakes of the past, we need to have a serious discussion about what type of human rights safeguards could be introduced to ensure we don’t have blood on our hands if atrocities continue,” said Mr Clarke.

Densus 88

Witnesses in Papua believe that Densus 88 murdered Papuan leader Mako Tabuni. He was shot by plain clothed security officers in Jayapura. Tabuni was a respected Papuan leader from the KNPB a non-violent organisation calling for a referendum on Papua’s political future. In 2009 Densus 88 was involved in the killing of Kelly Kwalik, a leader of Papua’s resistance movement who had denounced violence.
Members of the formidable Detatchment 88 anti terrorism unit
Members of the formidable Detachment 88 anti terrorism unit

In August 2011, Densus 88 took part in investigations into murders in Nafri, Jayapura. The investigations involved arbitrary detention, maltreatment and the torture of 15 people. In March 2012, National Police spokesman Insp. Gen. Saud Usman Nasution confirmed that Densus 88 officers were in Papua to help the local police fight armed militias. He justified their presence; ‘Terrorism is not only limited to radicals waging jihad. By the definition set under the 2003 Terrorism Law, terrorism refers to any act that can cause unrest.’
In July 2012, leading Indonesian human rights NGO, KontraS, published research on the conduct of Densus 88, based on monitoring of operations in Aceh, Maluku, Java and Central Sulawesi from 2006–2012. The report states that during this period, Densus 88 operations commonly involved arbitrary arrest and detention, torture and other degrading treatment, physical abuse, and injury causing death.

The Act of No Choice

In addition to Mr Clarke’s comments regarding Australia’s relations with Indonesia, he used the occasion of the 51st anniversary since the UN handed temporary control of West Papua to Indonesia to make a clear statement on the illegitimacy of the so called Act of Free Choice.
“There’s a reason many Papuans refer to the Act of Free Choice as the ‘Act of No Choice’ – it was an incredibly flawed process. Under severe duress, including threats of violence from senior ranking military officials, 1025 hand-picked Papuans were forced to vote on behalf of a population of one million. This anniversary is another reminder of the various injustices that continue to this day in Papua,” said Mr Clarke.

Laporan baru dari pusat hukum hak asasi manusia di Australia

Laporan baru dari pusat hukum hak asasi manusia di Australia

Kekerasan NKRI di Papua
New report from Human Rights Law center in Australia urges Australian government end their involvement Human rights violations in West Papua.
The Australian gov...
 
 Laporan baru dari pusat hukum hak asasi manusia di Australia mendesak pemerintah Australia mengakhiri keterlibatan mereka pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat.

Pemerintah Australia dana dan kereta Densus 88 anti teroris Unit yang menggunakan Indonesia untuk menyerang damai Papua Barat yang menganjurkan untuk penentuan diri. Indonesia menganggap Papua Barat yang menolak tindakan pilihan bebas sebagai separatis, teroris dan sah target untuk kekerasan negara.

Pemerintah Australia http://hrlc.org.au/Australian-Government-urged-to-Adopt-Human-Rights-Safeguards-in-Military-Aid-Programs-AS-West-Papua-Marks-Anniversary-of-Indonesian-Control/ mendesak untuk mengadopsi perlindungan hak asasi manusia dalam program-program bantuan militer sebagai peringatan tanda Papua Barat Indonesia kontrol.

2 April 2014 pemerintah Australia harus memperkenalkan undang-undang yang akan meminimalkan risiko kebijakan Australia atau bantuan militer yang mendukung para pelanggar HAM.

Direktur komunikasi pusat hukum hak asasi manusia, Tom Clarke, mengatakan Australia dukungan satuan anti-terorisme Indonesia, Detasemen Khusus 88, membutuhkan review.

"Masyarakat Australia dapat memiliki tidak yakin bahwa sedang diambil langkah-langkah yang memadai untuk memastikan Australia tidak dengan cara apapun yang terlibat dengan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di provinsi Papua di Indonesia," kata Mr Clarke.

Mr Clarke mengatakan di bawah hukum internasional negara memiliki kewajiban untuk melakukan due diligence untuk mengidentifikasi "risiko dan dampak potensial ekstrateritorial hukum, kebijakan dan praktik pada kenikmatan hak asasi manusia".

Laporan dari Asian Human Rights Commission dirilis tahun lalu rinci bagaimana disediakan Australia helikopter berada di antara pesawat digunakan untuk melaksanakan napalm dan cluster bom di dataran tinggi Papua Barat selama tahun 1970an. Namun, Mr Clarke mengatakan masalah tersebut tidak terbatas untuk peristiwa-peristiwa bersejarah.

"Australia memiliki catatan yang sangat meragukan ketika datang ke Papua-berturut-turut pemerintah telah berubah menutup mata terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di depan rumah kami. Tetapi jika kita ingin menghindari kesalahan-kesalahan masa lalu, kita perlu memiliki diskusi serius tentang apa jenis perlindungan hak asasi manusia dapat diperkenalkan untuk memastikan kita tidak memiliki darah di tangan kami jika melanjutkan kekejaman,"kata Mr Clarke.

Mr Clarke poin untuk "Leahy hukum" di Amerika Serikat sebagai model berpotensi layak melihat sebagai upaya untuk memastikan penerima bantuan militer Diperiksa oleh Departemen Luar Negeri AS dan Departemen Pertahanan.

"Mekanisme tersebut tidak pernah akan menjadi tongkat sihir yang hanya dapat gelombang dari semua masalah hak asasi manusia, tapi kita bisa dan harus berbuat lebih banyak untuk menerapkan langkah-langkah praktis untuk mengurangi risiko mendukung orang atau unit yang melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia," kata Mr Clarke.

Minggu ini menandai ulang tahun ke-51 sejak PBB menyerahkan kendali sementara Papua Barat ke Indonesia selama enam tahun hingga referendum 'Act of Free Choice' kontroversial dilaksanakan. Tahun lalu, pemerintah Indonesia ditembak pemrotes menandai peringatan 50 tahun.

"Ada alasan banyak warga Papua untuk Act of Free Choice sebagai 'Act of No pilihan'-itu adalah proses yang sangat cacat. Di bawah tekanan berat, termasuk ancaman kekerasan dari pejabat militer senior peringkat, 1025 mengangkat tangan orang Papua dipaksa untuk memilih atas nama populasi sebesar satu juta. Peringatan ini adalah pengingat lain mengenai berbagai kesewenang-wenangan yang terus hari ini di Papua,"kata Mr Clarke.

Pusat hukum hak asasi manusia menjadi tuan rumah acara-acara publik di Melbourne dan Sydney melihat topik ini dan orang lain dengan Rafendi Djamin, perwakilan Indonesia untuk Komisi Antarpemerintah ASEAN pada hak asasi manusia, Elaine Pearson, Direktur Human Rights Watch di Australia, dan Dr Clinton Fernandes, Associate Professor di internasional dan politik studi di Universitas New South Wales.

Untuk informasi lebih lanjut atau komentar, silahkan hubungi: Tom Clarke, HRLC Direktur komunikasi, 0422 545 763 atau tom.clarke@hrlc.org.au

Sumber : http://yupialwakoma.blogspot.com/2014/05/laporan-baru-dari-pusat-hukum-hak-asasi.html#.U2kFTtPq0qw.twitter

Ini Pernyataan Sikap Keluarga Korban Terkait Dogiyai Berdarah

Ini Pernyataan Sikap Keluarga Korban Terkait Dogiyai Berdarah

Sepnat Anouw, salah satu warga yang terkena serpihan peluru tembakan peringatan oleh Brimob di Dogiyai (Foto: majalahselangkah.com)
PAPUAN, Jayapura — Adanya kejadian berdarah di Kabupaten Dogiyai, Papua, yang menewaskan dua pemuda, serta salah satu tukang bangunan, dan tiga warga sipil yang ditembak anggota Brimob Polda Papua, keluarga korban menggelar jumpa pers, Kamis (8/5/2014) di Cafe Prima Garden, dan mengeluarkan pernyataan sikap sebagai berikut;
Kepada Aparat Keamanan; 
Pertama, kami meminta dengan tegas kepada Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua untuk memecam oknum anggota Brimob yang tanpa memberikan peringatan, telah menembak tiga warga sipil yang mengakibatkan luka parah, dan saat ini sedang dirawat di Ruma Sakit Umum Daerah (RSUD) Nabire.
Kedua, kami minta dengan tegas kepada Kapolda Papua, sopir yang dengan sengaja menghilangkan dua nyawa warga sipil yang tidak berdosa, harus di hukum seberat-beratnya.
Ketiga, kami meminta dengan tegas kepada kapolda Papua, segera pulangkan dan menarik semua anggota Brimob yang ada di Kabupaten Dogiyai. Pertanyaan bagi kami, kenapa puluhan Brimob harus ditugaskan di Dogiyai? Apa fungsi dari aparat kepolisian yang ada di Dogiyai sehingga harus ada Brimob yang ditugaskan di sana?
Kepada Pemerintah Daerah Dogiyai
Pertama, pemerintah daerah harus bertanggung Jawab dengan masalah yang telah terjadi dengan membiayai pengobatan ketiga korban tembak di RSUD Nabire, karena terkesan Pemda Dogiyai melakukan pembiaran.
Kedua, kami dengan tegas meminta kepada pemerintah daerah Dogiyai, segera dalam waktu dekat memindahkan Ibukota dari Moanemani ke Kigamani, seperti yang ada di dalam UU pembentukkan Kab. Dogiyai, No. 08 Tahun 2008.
Ketiga, kami meminta dengan tegas, semua jalan yang sedang dibuat di seluruh Kabupaten Dogiyai harus diperlebar, dan memasang rambu-rambu lalu lintas agar menghindari kecelakaan kedepanya.
Keempat, pemerintah dogiyai harus buat Peraturan daerah (Perda), tentang proteksi terhadap Orang Asli Papua (OAP), jika tidak ada Perda, kami khawatirkan mata rantai kematian OAP akan terus meningkat.
Beberapa masalah yang kami temukan di Dogiyai, yang tidak diatas oleh pemerintah daerah adalah; Pertama, uji kelayakan untuk semua usaha yang akan dibuka di Dogiyai; dan Kedua, pasar malam jangan pernah ada lagi di Dogiyai karena meresahkan warga Dogiyai.
Kelima, kami meminta dengan tegas kepada pemerintah Dogiyai, nama “Dogiyai “ harus dikaji secara mendalam.
“Ini sikap pernyataaan kami, atas nama kepala suku Mee di Jayapura, Bapak Yan Douw dan Ketua Solidaritas Keluarga korban dan Mahasiswa suku Mee di Jayapura, Yohanes Goo.”

Duluhnya Banyak peduduk jiwa yang di huni..tetapi Kota-Kota yang ditinggalkan Penduduknya

Kota-Kota yang ditinggalkan Penduduknya

Banyak pulau pulau berpenghuni di dunia ini, namun ada juga pulau yang dulunya berpenghuni namun ada beberapa karena suatu hal pulau itu di tinggalkan oleh penghuninya. Apaja saja pulau itu? berikut 5 Kota di Dunia yang telah Ditinggalkan Penduduknya :

1. Pulau Hashima Jepang



Pulau Hashima adalah sebuah pulau kecil bebatuan yang hanya memiliki luas 15 acre yang terletak dilepas pantai Nagasaki Jepang. Pada masa jayanya pulau ini adalah pulau yang sangat penting dimana merupakan pusat utama pertambangan batubara di Jepang hampir seabad lamanya. Pulau ini berada diatas deposit batubara yang cukup besar.

Pada mulanya pulau ini dimiliki oleh sebuah keluarga penduduk setempat yang mulai menambang batu bara disana secara tradisional, lalu dibeli Mistubishi Corporation pada tahun 1890 dan mulai saat itu kejayaan Hashima dimulai.Karena letaknya yang cukup jauh sekitar 18 mil dari Nagasaki membuat Mitsubishi

membangun rumah-rumah buat para pekerjanya daripada harus menyediakan feri setiap hari pulang dan pergi untuk para pekerjanya. Sebuah apartement permanen dibangun dimana keluarga para pekerja mendiami sebuah kamar yang sempit dan harus berbagi kamar mandi dan dapur dengan keluarga lainnya.

Fasilitas pelengkap bagi daerah tersebut kemudian mulai dibangun seperti theater, praktik dokter, restoran dan bar, dan kota ini menjadi padat dan seluruh komplek dikota tersebut dihubungkan oleh terowongan bawah tanah, pada puncaknya di tahun 1959 pulau Hashima adalah kota yang paling padat

penduduknya dimuka bumi dimana dihuni oleh 5259 jiwa berarti 835 orang untuk area seluas 2.5 hektar.Tidak semua para pekerja di Hashima bekerja disana atas kemauan mereka sendiri, dimasa perang dunia ke-2 pemerintah Jepang memaksa para pekerja China dan Korea bekerja disana, Sekitar 122 dari 500 pekerja asal Korea meninggal disana antara tahun 1939-1945.

Setelah perang dunia ke-2 para pekerja di pulau tersebut mendapat berbagai macam kemewahan dan fasilitas seperti televisi dan radio dll.Namun pada bulan Januari 1974 dimana penggunaan minyak bumi sebagai sumber energy lebih banyak dipakai dibandingkan batu bara,

Mitsubishi Corp mengumumkan bahwa tambang tersebut akan ditutup, dan dibulan April tahun 1974 adalah saat dimana para penghuni terakhir pulau tersebut diangkut oleh feri meninggalkan pulau itu.

2. Centralia, Pennsylvania USA



Centralia adalah sebuah kota yang pada masa jayanya dihuni oleh 3000 jiwa yang berdiri sejak tahun 1866 akibat booming tambang batu bara yang terdapat di kota tersebut namun tambang tersebut juga yang membuat kota tersebut mengalami kehancuran.

Ditahun 2005 hanya 12 orang setelah sebelumnya ditahun 1981 masih dihuni 1000 orang akibat terbakarnya tambang di tahun 1962, kebakaran ini terjadi karena pembakaran sampah yang dilakukan oleh para pekerja yang secara tidak sengaja membuat cadangan batu bara yang ada dibawah kota tersebut

terbakar, hal ini membuat efek pusat cadangan batubara yang ada menjadi ikut terbakar dan sangat susah dipadamkan, semua teknik telah dilakukan dan biaya yang tak ternilai jumlahnya telah dikeluarkan namun tidak dapat memadamkan api pada kandungan batubara yang begitu besar.

Di tahun 1981 setelah 20 tahun api terus menyala, seorang anak terperosok kedalam sebuah lubang yang terbuka namun ia berhasil selamat dari lubang menganga sedalam 150m dengan berpegangan pada

akar, lubang ini mengeluarkan gas karbon monoksida yang beracun.Pemerintah federal mengeluarkan dana 42 juta dollar untuk memindahkan sisa penduduk yang masih bertahan di tahun 1982 dan secara resmi menutup kota tersebut, hanya 20 warga yang tinggal sebagai warga liar di bekas rumah yang dulunya

resmi milik mereka, jalur utama keluar dan masuk ke kota tersebut ditutup karena tanah-tanah disekitar kota tersebut terbuka dan mengeluarkan gas putih yang beracun. Dan hampir sebagian besar rumah dan bangunan tersebut terbakar oleh api.

3. Kadykchan, Rusia



Kadykchan adalah sebuah kota yang dibangun usai perang dunia ke-2 sebagai kota bagi para pekerja tambang batu bara dan keluarga mereka, ditahun 1996 6 orang pekerja tewas akibat ledakan dalam tambang batu bara tersebut dan untuk menghindari bahaya tambang tersebut ditutup dan 12.000 jiwa yang menghuni kota tersebut diungsikan yang membuat kota tersebut menjadi sunyi dan tak berpenghuni

4. Prypiat, Ukraina



Pada tanggal 26 April 1986 terjadi ledakan pada reaktor no 4 di reaktor pembangkit listrik tenaga nuklir Chernobyl di Ukraina yang saat itu masih menjadi sebuah negara bagian dari Uni Sovyet. Kejadian

tersebut adalah kejadian terburuk sepanjang sejarah dalam proses pengolahan sumber daya nuklir menjadi tenaga listrik.Efek radiasi akibat dari ledakan tersebut menyebar keseluruh Ukraina dan menyebabkan ribuan orang tewas di Ukraina dan Rusia dan efek dari radiasi tersebut menyebar ke seluruh negara hingga tahun 2006.

Pemerintah Uni Sovyet mendapat kritikan keras karena tidak bergerak cepat untuk memperingatkan warganya tentang bahaya tersebut, walaupun begitu kota-kota terdekat dengan reaktor tersebut penduduknya dievakuasi dan menetapkan zona 18 mil sebagai zona eksklusif yang terlarang untuk dimasuki.

Prypiat adalah sebuah kota yang hanya berjarak 3 mil dari reaktor Chernobyl dan penduduknya sebagian besar adalah para pekerja di reaktor tersebut, sekitar 44.000 jiwa menghuni kota ini dan baru 60 jam setelah kejadian para penduduk kota tersebut di evakuasi Prypiat ditetapkan sebagai wilayah yang tidak aman untuk dihuni dan dibutuhkan waktu ratusan tahun hingga aman untuk dihuni oleh manusia.

5. Humberstone dan Santa Laura, Chili



Kota Humberstone di Chili berdiri tahun 1862 sebagai kantor pusat pertambangan nitrat La Palma. Pada tahun 1925 kota ini berubah namanya menjadi Humberstone diambil dari nama seorang manajer pertambangan

asal Inggris yang telah membuat kota kecil tersebut menjadi makmur.Baik Humberstone dan kota tetangganya Santa Laura mengalami booming dan kemakmuran karena produksi nitrat mereka, kedua kota ini jaya pada era tahun 30an dan 40an dimana selain merupakan pusat pertambangan juga merupakan pusat pengolahan nitrat

Nitrat pada masa itu merupakan unsur terpenting dalam proses pembuatan pupuk namun sejak akhir 30an industri juga sudah mulai membuat pengganti berupa nitrat sintetis yang lebih murah.Akibat semakin banyaknya produksi nitrat sintetis yang lebih murah membuat permintaan akan nitrat menurun

dan cepat atau lambat kejayaan kedua kota tersebut memudar, hingga akhirnya 3 dekade kemudian yakni di tahun 1961 secara resmi kantor pertambangan nitrat dikota tersebut ditutup.Yang tersisa dari kejayaan kedua kota tersebut hanyalah tumpukan pasir, gurun dan sekolah-sekolah serta museum yang telah ditinggalkan, sementara itu masih dapat dilihat hingga kini rumah-rumah para pekerja dan mesin-mesin pengolahan yang terdapat di pabrik-pabrik yang telah ditinggalkan.

Disana juga masih dijumpai Hotel Humberstone dengan fasilitas kolam renangnya yang telah kering air nya namun papan loncat nya masih tegak berdiri hingga kini.Di tahun 1970 pemerintah Chili menetapkan kedua kota tersebut sebagai monumen nasional, dan ditahun 2005 ditetapkan sebagai situs warisan budaya oleh UNESCO.

Minggu, 11 Mei 2014

Kivlan Zen: Otak Kerusuhan Mei 1998 Masih Aktif di Politik

Kivlan Zen: Otak Kerusuhan Mei 1998 Masih Aktif di Politik

Kivlan Zen: Otak Kerusuhan Mei 1998 Masih Aktif di Politik
Tribunnews.com/Taufik Ismail
Kivlan Zein
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Kepala Staf Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad), Mayjen Purnawirawan TNI Kivlan Zen mengatakan dirinya mengetahui otak kerusuhan Mei 1998.
"Kerusahan Mei saya tahu otaknya tapi saya akan buka apabila ada panel resmi," ujar Kivlan Zen di Cikini, Jakarta, (6/5/2014).
Kivlan mengatakan otak kerusuhan Mei 16 tahun silam tersebut terdiri dari unsur sipil maupun militer.
"Semuanya ada, dari militer ada, dari sipil juga ada. Saya tahu persis karena saya lihat dengan mata kepala sendiri, mereka menyerang saya di tugu Proklamasi" ujar Kivlan.
Selain itu, menurut Kivlan, orang yang menjadi dalang kerusuhan tersebut telah pensiun dari dunia kemiliteran, namun masih aktif dalam kancah politik.
Ketika ditanya nama orang tersebut, Kivlan mengatakan nanti saja pada panel resmi, ketika semua yang dianggap mengetahui, dipanggil untuk dimintai keterangan.
"Saya siap memberikan keterangan jangan diseret sana seret sini. Jika itu perintah negara dan semua dipanggil seperti Wiranto dan wartawan yang saat itu tahu persis ada dalam satu panel, saya siap," ujar

Aktivis Pembela HAM: Perlu Evaluasi Penempatan Brimob di Dogiyai


Yones Douw. Foto: Dok. MS
Nabire, MAJALAH SELANGKAH -- Aktivis Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) dari Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Gereja KINGMI Papua, Yones Douw mendesak pemerintah dan Kapolda Papua segera evaluasi kembali penempatan Brimob di Kabupaten Dogiyai karena salah menggunakan alat negara yang mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia di Dogiyai.

Hal ini dikatakannya kepada majalahselangkah.com menanggapi insiden penembakan kala warga Dogiyai mendatangi pos Brimob guna menanyakan perihal insiden kecelakaan maut di Epeida, dan penembakan oleh Brimob terhadap warga sipil di Dogiyai.

Kata Yones, masyarakat mendatangi pos Brimob bukan menyerang tetapi kedatangan masyarakat hanya meminta pertanggungjawaban dari sopir penabrak.

"Siapa saja dan bangsa manapun juga itu kalau keluarga yang mati secara tidak wajar itu pasti ada reaksinya karena bagian dari kekecewaan. Masyarakat datang ke mako Brimob itu bukan bagian dari melampiaskan emosi, tetapi itu mereka mau datang tanya," ungkapnya di Nabire, Sabtu (10/05) siang.

Menurutnya, Brimob seakan-akan menganggap warga Dogiyai adalah musuh negara sehingga melakukan penembakan secara emosional dengan menggunakan alat negara. Brimob tidak menanggapi kedatangan warga secara serius untuk diusut masalahnya secara tuntas.

Ia menambahkan, kasus pelanggaran HAM oleh Brimob di Dogiyai dalam beberapa tahun terakhir telah dilakukan dua kali sehingga penempatan korps Brimob harus dievaluasi kembali.

"Brimob sudah dua kali dan berkali-kali melakukan kasus di Dogiyai, jadi soal itu bupati Dogiyai dan Polda Papua harus evaluasi kembali karena Brimob sudah mengeluarkan darah orang Dogiyai dan nanti juga mereka akan melakukan hal sama yang mengarah kepada pelanggaran hak asasi manusia," tuturnya mengkritik.

"Pelanggaran hak asasi manusia itu menggunakan alat negara seperti sangkur dan senjata, jadi itu murni aparat melakukan pelanggaran hak asasi manusia, bukan orang mati. Melukai orang, mengeluarkan darah orang lain, mencederai orang lain terus menghilangkan bentuk tubuh lain itu sudah pelanggaran hak asasi manusia. Jadi, kami dari pembela hak asasi manusia meminta penempatan Brimob dan Kopassus di Dogiyai harus dievaluasi".

Ia juga bertanya alasan penabrak mencari perlindungan di pos Brimob, bukan di kantor polisi yang nota bene sebagai penegak hukum serta lebih dekat dengan lokasi terjadinya tabrakan maut.

Sebagai pembela HAM, ia merasa Polda mempermainkan perasaan masyarakat Dogiyai karena kasus berdarah Dogiyai sebelumnya hingga kini belum pernah diusut tuntas. Kasus ini pun, ia kurang percaya untuk akan ditangani.

Hal ini karena dari waktu ke waktu hanya ada janji akan diusut tuntas di depan masyarakat mengenai kasus yang bersentuhan dengan HAM, tetapi fakta di depan hukum tidak pernah terealisasi.

"Sampai hari ini Kapolda masih belum tuntaskan kasus Dogiyai yang lalu, dan kasus ini pun pasti Kapolda tidak akan tuntaskan karena orang Papua yang ditembak itu tidak ada nilai bagi Indonesia ini, sekali lagi, orang Papua yang ditembak atau orang Papua yang ditabrak itu tidak ada harga bagi negara ini," tutupnya.

ANGAT MASIH INGKAT KAH MEI 1998 PRABODO SUBIANTO

Kata Adik: Ibunda Prabowo Subianto Lahir dan Meninggal sebagai Kristen Protestan

Kata Adik: Ibunda Prabowo Subianto Lahir dan Meninggal sebagai Kristen Protestan
TRIBUN JATENG/ WAHYU SULISTYAWAN
Prabowo Subianto 
Laporan Wartawan Tribunnews, Eri Komar Sinaga
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-  Hashim Djojohadikusumo bercerita panjang lebar mengenai sosok kakak kandungnya, Prabowo Subianto Djojohadikusumo. Hasim dan Prabowo merupakan anak pasangan Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo dengan Dora Marie Sigar.
Berbicara di depan ratusan anggota Forum Alumni dan Mahasiswa Universitas Trisakti, Hashim berkisah mengenai Prabowo, sosok yang disebut-sebut berada di balik kisruh Mei 1998 dan penculikan aktivis.
Dalam acara tersebut, Hashim dengan lugas berbicara mengenai pribadi dan kiprah Prabowo. Hashim juga memberikan klarifikasi mengenai tuduhan anticina, antikristen, Islam fanatik, ABRI (kini TNI) Hijau, dan sebagainya yang dialamatkan kepada Prabowo.
"Kita kembali ke suasana Mei 1998 di mana Prabowo difitnah dengan ftnah lain. Prabowo itu ABRI hijau, Prabowo itu Islam fanatik, Prabowo itu anticina, Prabowo itu  antikristen, dan sebagainya. Saya bersaksi bahwa itu juga fitnah. Ibu kami, Ibu Prabowo, ibu saya lahir dan meninggal sebagai seorang Kristen Protestan," tutur Hashim Deklarasi Forum Alumni dan Mahasiswa Trisakti untuk Mendukung Bapak H. Prabowo Subianto sebagai Presiden RI, di Hotel Sahid, Jakarta, Sabtu (10/5/2014).
Prabowo juga-lah yang memimpin upacara pemakaman di TPU Tanah Kusir di area pemakaman Kristen.
"Saya sendiri adik kandungnya Kristen Protestan, kakak kami Katolik, keponakan-keponakan Prabowo yang sangat dekat dengan Prabowo, Katolik," lanjut pemilik perusahaan Arsari Group itu.
Hashim juga membeberkan lagi contoh-contoh lain betapa bekas Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus itu bukanlah antikristen dan anticina. Kata Hashim, Prabowo memiliki sekretaris pribadi yang sudah bekerja untuknya 15 tahun yakni seorang Tionghoa dan beragama Kristen.
Tidak hanya itu, tiga dokter pribadi Prabowo juga semuanya berdarah Tionghoa. Jika memang anticina, lanjut Hashim, Prabowo bisa saja dibunuh dokter-dokter pribadinya itu.
"Kalau mereka ingin mati Prabowo, kan tinggal disuntik dengan racun. Tapi karena mereka yakin Prabowo bukan anticina, bukan seorang rasialis, mereka tetap melayani Prabowo sebagai dokter pribadinya," kenang Hashim yang disambut tepuk tangan para hadirin.
Sekedar informasi, Prabowo diduga kuat aktor di baik kerusuhan Mei 1998 berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta.

Sabtu, 10 Mei 2014

FREEDOM WEST PAPUA

WEST PAPUA HAVE A self-determination
West Papua's Greetings ... I wrote adik2 input, west papua teman2 and sister that we have not realized / realize ourselves under our west Papua ... Indonesia tejebak in the system who have been premeditated and had set a strategy to kill our people West Papua .. in a subtle way,,, so now we orang2 Papua kill each other and we sendriri against each other,,, it started from the year 2014.akan 1990_an until now but we are aware of the west Papua and realize that what happened to us what will happen and what we padah, then we man / peolpe West Papua advanced and against Indonesia,,,, which is in the land west Papua independence-independen

BENARKAH ADA URANIUM DI PAPUA?

TRUE THAT THERE IS URANIUM IN PAPUA ?Nuclear potential energy crisis in Indonesia and electricity makes nuclear power so the alternative choice ( Jubi / ist )
Nuclear potential energy crisis in Indonesia and electricity makes nuclear power so the alternative choice ( Jubi / ist )
Jayapura , 9/5 ( Jubi ) - One of the members of the regional parliament urainum never raised the issue at the Freeport mine site . Unfortunately, attempts to prove there urainum under Grasberg not continue . Even US-based mining company also denied that no urainum on location .
Henock Ondy alumni of the University of Sriwijaya Palembang geologists have revealed that the mineral - associated minerals in mines always contain other elements including uranium bandwagon . It's just that there should be an effort he continued further studies to define the extent and amount contained therein .
" I think the potential is always there , " said ondi to tabloidjubi some time ago in Jayapura .The same thing is also said mineral engineering professor , State University of Paradise ( Uncen ) Endang geologically Hartiningsih that Papua has the uranium resources for the region composed of ultramafic igneous rocks .
Radioactive materials such as uranium contained in this ultramafic igneous rocks and are often found in Papua . Papua island is estimated to have reserves of uranium which is great because the characteristics of the rock there 600 million years old and has a resemblance to the rocks found in northern Australia . These rocks are known in advance because it has uranium reserves .
Potential Uranium in Papua makes the Chairman of the National Nuclear Energy Agency ( Batan ) Prof. Dr. Djarot Sulistio Wisnubroto should conduct a survey to Biak. Batan team conducted a survey in early May in Biak . Batan team came various locations to take samples of uranium for further dijui .
In Papua, according to the Chairman of the Batan for potential uranium consists of several categories among other measurable category , terkea , identified and hypothetical categories . Furthermore, according to the Chairman of the Batan will do a more in-depth research .
Besides in Biak , Batan team also conducted a survey in Mimika and Yahukimo District not long ago . According to the Chairman of the Batan uranium potential in Indonesia is estimated at 70,000 tons and 117 tons of thorium .
The Government of Indonesia since 1975 have planned to choose locations that are considered suitable for nuclear power plant ( NPP ) . NPP planning is important for the government because of the limited supply of electricity , especially in Java . The original plan in 1985 should already be there NPP with a capacity of at least 200 MW of turns until now has not been realized .
Selection of the location of nuclear power plants in the North shore location of Mount Muria , Central Java is a very strategic area and safe from the earthquake and has enough water resource . Because a nuclear power plant with a capacity of 500 MW requires about 50 liters of water with 80 samoai loiter per second as cooling water about 25 to 40 m3 per second .
November 2007 , Green Peace Indonesia with Ship Raibouw II anti- nuclear campaign and anchored in Moriah . GP Indonesian Party protest plans to build nuclear power plants in the Mount Muria , 2007. Whether they 've got a protest , nuclear power development plan in accordance with the program still running .
Moreover, the condition of electrical energy from hydro power plants and steam continued to decline drastically . Making nuclear power plant continues to run according to the program has been launched by the government of the Republic of Indonesia. Lsitrik energy crisis in Java and its surroundings made ​​the choice of nuclear energy a solution for network sustainability of the electricity industry in Java . ( Jubi / Domingoes a Mampioper )
Potensi Nuklir di Indonesia dan krisis energi listrik membuat PLTN jadi pilihan alternatif(Jubi/ist)
Potensi Nuklir di Indonesia dan krisis energi listrik membuat PLTN jadi pilihan alternatif(Jubi/ist)
Jayapura, 9/5 (Jubi)-Salah seorang anggota DPR Papua pernah mengangkat masalah urainum di lokasi tambang PT Freeport. Sayangnya upaya membuktikan ada urainum di bawah tambang Grasberg tak berlanjut. Bahkan perusahaan tambang asal Amerika Serikat juga membantah kalau tidak ada urainum di lokasinya.
Henock Ondy geolog alumni Universitas Sriwijaya Palembang pernah mengungkapkan kalau mineral-mineral ikutan dalam tambang selalu mengandung unsur-unsur ikutan lain termasuk uranium. Hanya saja lanjut dia harus ada upaya penelitian lebih lanjut untuk menentukan besaran dan jumlah yang terkandung di dalamnya.
“Saya kira potensi selalu saja ada,”kata Ondi kepada tabloidjubi beberapa waktu lalu di Jayapura.
Hal senada juga dikatakan dosen teknik mineral Universitas Negeri Cenderawasih(Uncen) Endang Hartiningsih kalau secara geologi tanah Papua memiliki sumber daya uranium karena wilayah ini tersusun oleh batuan beku ultrabasa.
Bahan-bahan radio aktif seperti uranium terkandung di dalam batuan beku ultrabasa ini dan banyak dijumpai di wilayah Papua. Pulau Papua ini diperkirakan memiliki cadangan uranium yang besar karena karakteristik batuan di sana berumur 600 juta tahun dan memiliki kemiripan dengan batuan yang terdapat di Australia Utara. Batuan ini telah diketahui sebelumnya karena memang memiliki cadangan uranium.
Potensi uranium di Papua membuat Ketua Badan Tenaga Nuklir Nasional(Batan) Prof Dr Djarot Sulistio Wisnubroto harus melakukan survey ke Biak Numfor. Tim Batan melakukan survey pada awal Mei lalu di Biak. Tim Batan datang berbagai lokasi untuk mengambil sampel-sampel uranium untuk dijui lebih lanjut.
Di Papua menurut Ketua Batan untuk uranium potensinya terdiri dari beberapa kategori antara lain kategori terukur, terkea, terindentifikasi dan kategori hipotesis. Selanjutnya menurut Ketua Batan akan dilakukan penelitian yang lebih mendalam.
Selain di Kabupaten Biak Numfor, tim Batan juga melakukan survey di Kabupaten Mimika dan Kabupaten Yahukimo belum lama berselang. Menurut Ketua Batan potensi uranium di Indonesia diperkirakan mencapai 70.000 ton dan 117 ton thorium.
Pemerintah Indonesia sendiri sejak 1975 telah merencanakan untuk memilih lokasi-lokasi yang dianggap cocok untuk pembangkit Listrik Tenaga Nuklir(PLTN). Perencanaan PLTN ini penting bagi pemerintah karena keterbatasan pemasokan listrik khususnya di Pulau Jawa. Rencana semula pada 1985 sudah harus ada PLTN dengan kapasitas minimal 200 MW ternyata sampai sekarang belum terealisasi.
Pemilihan lokasi PLTN di lokasi pantai Utara Gunung Muria, Jawa Tengah wilayah ini sangat strategis dan aman dari bencana gempa dan memiliki sumber air cukup. Pasalnya sebuah PLTN dengan kapasitas 500 MW membutuhkan air sekitar 50 liter samoai dengan 80 loiter per detik sebagai air pendingin sekitar 25 sampai 40 m3 per detik.
November 2007, Green Peace Indonesia bersama Kapal Raibouw II melakukan kampanye anti nuklir dan berlabuh di Muria. Pihak GP Indonesia memprotes rencana pembangunan PLTN di Bukit Muria, 2007. Meski pun sudah mendapat protes, rencana pembangunan PLTN tetap berjalan sesuai dengan program.
Apalagi kondisi energi listrik dari pembangkit Listrik Tenaga Air dan Uap terus menurun drastis. Membuat PLTN tetap berjalan sesuai program telah dicanangkan pemerintah Republik Indonesia. Krisis energi lsitrik di Pulau Jawa dan sekitarnya membuat pilihan energi nuklir menjadi solusi bagi keberlangsungan jaringan industri listrik di Pulau Jawa. (Jubi/dominggus a mampioper)


Freeport Bagi Dividen Rp24 Trilyun, Untuk Indonesiatangal 11-5-2014

Freeport Bagi Dividen Rp24 Trilyun, Untuk Indonesiatangal 11-5-2014

CEO Freeport McMoran Copper and Gold Inc, Richard-C-Adkerson (kanan) dan Presdir PT Freeport Indonesia, Rozik Soetjipto
Di AS, Freeport bagikan dividen US$ 2,19 miliar (Rp 24,9 triliun). Tapi di RI tidak membagi dividen. Padahal, dari belasan anak usaha mereka, hanya PT Freeport Indonesia yang pendapatan dan labanya naik.
Freeport McMoran membagikan dividen US$ 2,25 per saham atau total US$ 2,19 miliar. Nominal tersebut jika dirupiahkan setara dengan Rp 24,9 triliun (kurs Rp 11.400/US$).
Tahun buku 2013, perusahaan raksasa tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut mampu membagikan sekitar 84 persen dari total labanya buat para pemegang saham mereka di bursa saham Wall Street, New York. Pembagian dividen akan dimulai pada awal Mei 2014.
Asal tahu saja, pembagian dividen Freeport di AS ini merupakan yang terbesar dalam tiga tahun terakhir. Padahal, secara keseluruhan pendapatan dan laba belasan anak usaha Freeport mencatat kinerja buruk di 2013.
Hanya PT Freeport Indonesia yang pendapatan dan labanya naik. Pendapatan PT Freeport Indonesia di 2012 mencapai US$ 4,1 miliar menjadi US$ 4,4 miliar di 2013. Sedangkan laba kotor dari US$ 1,3 miliar di 2012 menjadi US$ 1,5 miliar di tahun lalu.
Namun justru di Indonesia yang tidak ada pembagian dividen. Entah di negara-negara lokasi tambang Freeport lainnya, apakah bernasib sama dengan Indonesia atau tidak.
Rozik B Soetjipto, Presdir PT Freeport Indonesia, seperti dikutip dari Kontan, Kamis (17/4/14), mengatakan, selain Indonesia, tambang Freeport antara lain ada di Peru, Amerika Utara dan Afrika.
Alasan Freeport tidak membagikan dividen di Indonesia karena laba perseroan digunakan untuk investasi proyek baru. Proyek tersebut membutuhkan biaya US$ 1 miliar per tahun. “Lihat saja, investasi kami di 2013 lalu sebesar US$ 1,03 miliar. Bandingkan dengan keuntungan kami,” kata Rozik kepada Kontan.
Sebelumnya, MS Hidayat, Menteri Perindustrian, juga menganggap wajar jika Freeport tidak menyetor dividen ke RI. Keputusan tidak membagi dividen ini sudah disepakati saat RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham), yang juga direstui perwakilan pemerintah. Dalam hal ini pastilah pihak dari Kementerian BUMN  yang hadir mewakili.
“Dalam RUPS mereka ada porsi pemerintah Indonesia. Saya tidak tahu siapa yang mewakili Indonesia dalam RUPS, tapi bisa ditanyakan,” kata MS Hidayat.
Untuk diketahui, meski bukan BUMN, Pemerintah RI memiliki saham sebesar 9,34 persen di Freeport Indonesia. Sejak dua tahun terakhir, Freeport tidak menyetor dividen ke pemerintah.
 Freeport Dividend Rp24 trillion , For Indonesiatangal 11-5-2014
 
Freeport Dividend Rp24 Trillion , Zero To IndonesiaCEO of Freeport McMoran Copper & Gold Inc , Richard - C - Adkerson ( right ) and President Director of PT Freeport Indonesia , Rozik Soetjipto
In the U.S. , Freeport share dividend of U.S. $ 2.19 billion ( Rp 24.9 trillion ) . But in RI does not pay dividends . In fact , of the dozens of their subsidiary , PT Freeport Indonesia's only revenue and profit rise .
Freeport McMoran dividend of U.S. $ 2.25 per share, totaling U.S. $ 2.19 billion . The nominal if dirupiahkan equivalent to Rp 24.9 trillion ( USD exchange rate 11.400/US $ ) .
Financial year 2013, the giant mining company from the United States ( U.S.) is able to distribute about 84 percent of the total profits for their shareholders on Wall Street , New York . Dividend distribution will begin in early May 2014 .
Just so you know , Freeport dividend distribution in the U.S. is the largest in the last three years . In fact , overall revenue and profit subsidiary of Freeport recorded dozens of poor performance in 2013.
Only PT Freeport Indonesia's revenue and profit rise . Revenue PT Freeport Indonesia in 2012 reached U.S. $ 4.1 billion to U.S. $ 4.4 billion in 2013. While gross profit of U.S. $ 1.3 billion in 2012 to U.S. $ 1.5 billion last year .
But it was in Indonesia that no dividend distribution . Whether in countries other Freeport mine site , whether the same fate with Indonesia or not .
Rozik B advised, the President Director of PT Freeport Indonesia , as quoted by Cash , Thursday ( 17.04.14 ) , said that , in addition to Indonesia , among other Freeport mine in Peru , North America and Africa .
Freeport reason not to distribute dividends in Indonesia because of the company's profit is used for new investment projects . The project will cost U.S. $ 1 billion per year . " Look , our investment in 2013 and amounted to U.S. $ 1.03 billion . Compare that to our advantage , "said Rozik to Cash .
Previously , MS Hidayat , Minister of Industry , was also considered reasonable if the company did not deposit the dividend to RI . The decision does not divide the dividend has been agreed at AGM ( Annual General Meeting of Shareholders ) , who also sanctioned representative government . In this case the Ministry of SOEs must be present to represent .
" In their AGM No portion of the Indonesian government . I do not know who will represent Indonesia in the GMS , but it can be asked , " said MS Hidayat .
To note , although no state-owned , the Government of Indonesia has a stake of 9.34 percent in Freeport Indonesia . Since the last two years , the company did not deposit the dividend to the government .