Kamis, 17 April 2014

kekerasan & pelanggaran ham yang di lakukan oleh Negara



Ilustrasi kondisi akhir setelah aktivitas pertambangan di Grasberg. Ist.

Berikut adalah kesaksian Yosepha Alomang melawan Freeport yang tidak adil terhadap orang Papua, terutama suku-suku yang ada di sekitar tambang terbesar dunia,itu. ***

Oleh Benny Giay dan Yafet Kambai

Tahun 1977 saya sedang hamil anak saya yang ke dua. Dua minggu sebelum peristiwa itu pecah, saya berangkat ke Kokonao.

Waktu itu, saya ingat, ada kabar angin yang beredar di masyarakat. Waktu itu mereka bilang, daerah Timika nanti akan jadi seperti Sorong, Fak-fak dan Biak yang sekarang ini penuh dengan tulang-tulang manusia karena dibunuh tentara Indonesia.

Katanya, ABRI adakan operasi di sana tanpa pilih muka. Mereka pukul dan tembak orang itu tidak pandang bulu. Orang-orang Sorong, Fak-fak, Biak itu sekarang kepala sakit pikir tulang manusia yang banyak ditemukan di kampong dan tempat lain karena operasi itu.

Masyarakat juga sebarkan berita bahwa mengapa ada tulang belulang itu? Karena orang Papua serahkan tanah. Waktu itu ada masyarakat yang taku mendengar berita-berita ini.

Ada pikiran yang muncul waktu itu: nanti kami orang Papua tinggal tulang-tulang saja di tanah ini. Atau barangkali dorang makan kami punya tulang-tulang lagi kah? Tetapi ada juga yang bilang: kita lawan mereka. Mereka jago kah. Dorang ju7ga tidak ada apa-apa.

Saya punya kesehatan semakin terganggu. Saya mulai sakit. Saya ke Kokonau 2 minggu untuk berobat dan melahirkan. Saka kembali dari Kokonao, semua orang Amungme sudah tidak ada. Saya tidak tahu mereka lari kemana, tetap suatu malam, satu laki-laki datang bantu angkat barang-barang kami dan anak-anak saya untuk ikut lari dari belakang rumah ke hutan.

Mula-mula kami tinggal di kali Kopi, sebelah kali Wanagon. Malamnya kami lihat api menyala sampai asap tinggi ke langit selama 2-3 hari. Langit menjadi merah campur hitam.

Masyarakat bilang, ada potong dan bakar pipa Freeport. Saya tidak tahu, apakah mereka pakai ilmu ataukah apa, sehingga mereka bisa potong pipa itu, karena disitu ada satpam dan keamanan Freeport.

Balasan dari Pemerintah

Pemerintah Indonesia balas dengan datangkan ribuan tentara. Tentara Indonesia yang ribuan itu masuk sampai tutup jalan. Timika jadi hijau rumput karena seragam tentara. Mereka membom kampong Agimuga, kampong Baru, Nokorumon, itu semua dibom dari udara.

Tempat masyarakat ada, semua dibom dari udara sampai Tsinga, Asuwagoumom, Basuwagoumom, dan daerah lain, semua di bom. Kalau lihat gereja, mereka bom saja.
Saya waktu itu pikir, gereja sebagai tempat belajar hokum Tuhan seperti jangan mencuri, jangan menipu. Tetapi Tentara Indonesia mereka bom rumah gereja di mana-mana. Begitu lihat tentara bom gereja, saya pikir Tentara Indonesia itu setan yang melawan umat Tuhan.

Tahun 1977 baru kami kenal pemerintah Indonesia. Sebelum itu kami tidak kenal. Kami hanya tahu Freeport. Karena tidak ada pemerintah yang lihat suku Amungme.

Lalu kami lihat TNI menangkap bapak Hilarius Kemong, Jopinus Pinimet, dan satu lagi, saya lupa namanya. Mereka tifa ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam aksi pemotongan pipa Freeport.

Mereka bawa 3 orang kami itu ke rumah Pak Guru Rian (orang Kei) Mereka tiga ditahan di situ sampai dibunuh tentara Indonesia di Bandara Timika. Setelah itu ada 5 orang yang lain yang ditahan juga. Mereka itu Nokwame, saya lupa nama kecilnya.

Lalu yang kedua itu seorang marga Amokwame dan adik-adiknya 3 orang yang ditahan dan dibunuh. Mereka dapat tahan waktu ambil makanan di Kwamki Lama. Dua dari mereka dapat bunuh di Mil 39.  Imanuel Alomang, kakak saya yang kerja jadi Sekurity di Freeport waktu itu kerja di Mil 39, jadi tahu persis kejadian itu.

Ini yang buat kami masyarkat marah. Mereka yang ditangkap ini semua masyarakat biasa. ABRI itu apa?  Tidak ada kekuatan kah? Mereka kalah. Karena yang dorang tangkap itu orang biasa. Yang benar-benar OPM tidak pernah berhasil ABRI kejar. Itu yang masyakarat bilang, ABRI tra jago. Hanya jago bunuh orang biasa.

Kalau mereka tangkap dan bunuh OPM, itu baru perang. Perang itu apa? Kami juga dulu perang. Saling bunuh dalam perang diantara musuh itu biasa. Tetapi jangan tangkap orang biasa lalu bilang OPM. Itu tindakan tidak tahu adat perang. Atau jangan bunuh wanita dan anak-anak lalu bakar kampong. Itu bukan perang dengan musuh. Itu tanda sudah kalah.

Mati Kelaparan

Anak pertama saya berumur 5 tahun meninggal karena kelaparan. Perut kosong.  Thobias punya anak laki-laki juga meninggal. Saya sedih ingat saya punya anak perempuan yang meninggal karena lapar. Dia punya perut kosong. Tidak bisa buang air.

Dalam perang itu kami juga tidak bisa pasang api. Kami tunggu sampai jam 9 atau jam 10 malam baru kami pasang api cepat-cepat untuk masak makanan.

Saya masih punya anak kecil-kecil. Jadi waktu itu saya tidak bisa cari makan dan tidak mampu angkat barang, karena saya juga baru 2 bulan melahirkan anak. Saya masih tidak mampu bergerak. Saya hanya bawa anak kecil. Kalau saya lapar, saya biasa petik daun-daun, kumpul, doa lalu makan dengan air putih saya dengan anak-anak.

Tetapi Tuhan tolong saya. Saya tidak mau bicarakan penderitaan ini. Tapi saya manusia. Tuhan tolong saya, tapi saya manusia tidak bisa balas budi jadi. Tuhan kasih saya air putih saja saya bisa hidup dengan anak-anak saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar