Jumat, 25 April 2014

SEJARAH DAN FILOSOFI BENCANA DIMUSEUM TSUNAMI ACHE

SEJARAH DAN FILOSOFI BENCANA DIMUSEUM TSUNAMI ACHE










Tampilan muka Museum Tsunami di Banda Aceh. (FOTO: bandaacehkotamadani.wordpress.com)
Tampilan muka Museum Tsunami di Banda Aceh. (FOTO: bandaacehkotamadani.wordpress.com)
Akhir Maret lalu saya berkesempatan mengunjungi Aceh untuk pertama kalinya. Selain untuk berlibur, kunjungan perdana ini saya manfaatkan untuk melihat jejak-jejak tsunami yang tersisa di provinsi terbarat Indonesia ini. Salah satu kota yang saya sambangi ialah Banda Aceh. Di sinilah Museum Tsunami berlokasi, tempat yang tepat bagi mereka yang ingin membaca jejak tsunami yang terangkum dalam bentuk arsip dokumentasi berita, foto, video, miniatur, hingga filosofi bentuk bangunan.
Museum Tsunami terletak di Jalan Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Museum ini tidak memungut bea masuk, sehingga pengunjung bisa masuk dengan gratis. Hanya saja, pengunjung yang datang diwajibkan untuk mengenakan pakaian sopan, yakni baju lengan panjang dan celana/rok panjang. Sementara pengunjung wanita yang beragama Islam dianjurkan untuk memakai kerudung.
Bendera bertuliskan "Damai" dalam berbagai bahasa digantung di atas jembatan yang membelah musem. (FOTO: Deasy Elsara)
Bendera bertuliskan “Damai” dalam berbagai bahasa digantung di atas jembatan yang membelah musem. (FOTO: Deasy Elsara)
Museum Tsunami diresmikan pada tahun 2008, dua tahun setelah tsunami meluluhlantakkan Banda Aceh dan kawasan sekitarnya. Museum ini dibangun setinggi empat lantai. Di lantai dasar terdapat “Jembatan Perdamaian” yang merentang sepanjang 15 meter di atas kolam ikan. Di sekeliling kolam terdapat 52 buah tempat duduk yang terbuat dari batu sebagai lambang jumlah negara yang memberi bantuan pada Indonesia untuk rekonstruksi pasca tsunami di Aceh.
Saat melintasi jembatan, perhatian saya terbagi dua, menengok ikan-ikan yang berenang dan mendongak melihat bendera dari berbagai negara yang menggantung. Karena penasaran, saya melangkahkan kaki ke bagian tengah jembatan dan mencoba membaca satu persatu kata yang tertulis di bendera tersebut. Rupanya bendera-bendera tersebut bertuliskan kata “damai” dalam berbagai bahasa.
Lorong gelap yang berhasil membuat saya bergidik membayangkan penderitaan para korban yang tergulung tsunami. (FOTO: Deasy Elsara)
Lorong gelap yang berhasil membuat saya bergidik membayangkan penderitaan para korban yang tergulung tsunami. (FOTO: Deasy Elsara)
Saya lalu melanjutkan perjalanan ke lorong gelap yang kedua sisi dindingnya dikucuri air. Saat melewati lorong ini, kita seolah diajak merasakan situasi korban saat tergulung gelombang tsunami. Sempit, gelap, dan terdengar suara air. Dinding setinggi 20 meter melambangkan ketinggian air sewaktu tsunami terjadi. Saya bergidik membayangkan penderitaan korban kala itu. Terombang-ambing dalam air dari laut yang tak lagi berwarna biru jernih, melainkan pekat karena turut membawa lumpur dan segala benda yang ikut terbawa saat air menyapu kota.
Lorong ini bermuara ke sebuah ruangan yang sekilas tampak seperti memorial hall. Monitor-monitor tersebar di penjuru ruang, menampilkan foto-foto saat bencana melanda setiap beberapa detik. Suasana ruangan juga gelap, dengan cermin yang membentang di masing-masing sisi ruangan dengan sedikit cahaya yang tembus dari beberapa kaca di langit-langit. Rupanya ruangan ini berada tepat di bawah kolam ikan. Ruangan ini juga penuh filosofi. Cermin yang membentang melambangkan luasnya jangkauan air saat tsunami, sementara cahaya yang masuk dari celah kaca, memperlihatkan minimnya cahaya yang bisa tembus ke dalam air. Ruangan ini mengajak kita seolah-olah berada di dalam air.
Ruang "Sumur Doa" dengan tulisan Allah di puncak atap berbentuk lorong. (FOTO :Deasy Elsara)
Ruang “Sumur Doa” dengan tulisan Allah di puncak atap berbentuk lorong. (FOTO :Deasy Elsara)
Tak jauh dari sana terletak “sumur doa”, yakni sebuah ruangan yang menampilkan nama-nama korban di dinding dengan atap berbentuk corong. Di puncaknya terdapat tulisan “Allah” dalam bahasa Arab. Entah kenapa di ruangan ini lantunan ayat suci terdengar menyayat hati sehingga saya bergidik untuk yang kedua kalinya.
Di lantai dua terdapat ruang replika dan ruang audiovisual. Berbagai miniatur dan replika barang saat kejadian tsunami terdapat di ruang ini, seperti jam mati yang menunjukkan pukul 08.17 ketika gempa terjadi, miniatur orang-orang yang sedang menangkap ikan di laut  kemudian berlarian menyelamatkan diri dari terjangan gelombang setinggi pohon kelapa, dan masih banyak lagi.
Salah satu miniatur yang memperlihatkan tingginya gelombang tsunami yang meluluhlantakkan daerah-daerah yang dilaluinya. (FOTO: Deasy Elsara)
Salah satu miniatur yang memperlihatkan tingginya gelombang tsunami yang meluluhlantakkan daerah-daerah yang dilaluinya. (FOTO: Deasy Elsara)
Sementara di ruang audiovisual kita bisa menonton dokumenter saat gempa dan tsunami yang terjadi pada 24 Desember 2004. Film berdurasi 15 menit ini ditayangkan beberap kali dalam satu hari. Namun sayang, kuota pengunjung pada jam penayangan saat itu sudah penuh sehingga saya tidak jadi menonton.
Lanjut ke lantai tiga ada ruang khusus IPTEK. Di sini lah berbagai macam benda alat peraga yang menjelaskan tentang gempa dan tsunami, mulai dari foto, miniatur, hingga simulator disimpan. Kita bisa mencoba alat peraga yang ada. Sayang banyak alat peraga yang sudah rusak dan tidak tampak tanda-tanda akan diperbaiki segera.
Alat peraga pengukur gempa di ruang simulator. (FOTO: Deasy Elsara)
Alat peraga pengukur gempa di ruang simulator. (FOTO: Deasy Elsara)
Salah satu alat peraga yang masih berfungsi dengan baik ialah alat pengukur besar gempa. Saya mencoba menghentakkan kaki di atas alat tersebut, dan secara otomatis muncul angka 4 SR di monitor.
Bagi yang tak punya waktu untuk membeli oleh-oleh, jangan khawatir. Sebab museum ini juga menyediakan suvenir khas Aceh yang dijual di lantai empat. Dendeng sapi dan rusa yang laris sebagai oleh-oleh juga tersedia di sini. Ada pula aksesori seperti bros berbentuk pintu rumah adat Aceh, sarung, dan rencong.
Perasaan saya campur aduk usai mengunjungi museum ini. Ada perasaan ngeri, sedih, hingga haru. Beberapa bagian di museum ini memang dirancang untuk seolah mengajak pengunjung ikut merasakan suasana saat terjadi tsunami. Namun saya sadar, betapapun bergidiknya saya saat mengunjungi Museum Tsunami, tentu tidak ada apa-apanya dibandingkan penderitaan korban kala bencana melanda.
.

Museum Tsunami

Jalan Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh, Aceh 23125
Jam buka: Selasa – Kamis & Sabtu – Minggu (pukul 09.00 – 12.00, 14.00 – 16.30), Jumat (pukul 09.00 – 11.30, 14.30 – 16.30)
Larangan: Membawa makanan dan minuman ke dalam gedung, berpakaian tidak sopan, memakai seragam sekolah tanpa guru pendamping.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar