Minggu, 27 April 2014

UANG, UANG SUDAH YANG HANCURKAN PAPUA KAMI!

UANG, UANG SUDAH YANG HANCURKAN PAPUA KAMI!


ilustrasi uang dan darah (dreamstime.com)
ilustrasi uang dan darah (dreamstime.com)
Suva,27/4- “Great Money, Great Power,”tutur Miss Ema Pook kepada saya dalam sebuah diskusi, Kamis (24/4). Uang mempunyai kekuatan yang mampu mengubah kualitas manusia dan barang. Uang dapat membeli dan menjual kualitas manusia. Uang mendongkrak dan merusak kualitas manusia. Kualitas manusia saja dapat berubah apalagi barang. Nilai barang dapat berubah atau terdongkrak, naik dalam waktu singkat.
Orang yang membutuhkan waktu 4 tahun untuk pendidikan S1, butuh 2-6 tahun untuk pendidikan S2 hingga S3, tapi waktu itu dapat dipintas singkat akibat jual beli nilai dan gelar. Penghargaan hingga pujian seremonial makin ramai dari satu sudut dunia ke dunia lain. Uang betul menjadi satu kekuatan yang mampu menghipnotis manusia.
Menurut Karl Marx, Filsuf Humanis radikal, uang itu ‘dewa’ yang bergentayangan mengubah pola pikir dan pola tindak manusia terhadap alam dan sesama.
Uang adalah dewa yang terlihat, mengubah semua kualitas manusia dan alam menjadi yang sebaliknya membingungkan dan membalikan barang-barang secara universal; uang menjadi ketidaksesuaian menjadi persaudaraan,”tulis Marx dalam bukunya The Economic and Philosophical Manuscripts.
Kita ambil contoh perubahan Papua. Dewa nampak mengubah kualitas manusia hingga alam Papua. Papua yang berbudaya menjadi Papua yang tidak berbudaya. Papua yang damai menjadi Papua yang chaos. Papua yang indah menjadi Papua yang rusak. Papua yang bermoral (relativ) menjadi yang imoral. Papua yang cerdas menjadi Papua yang dunggu. Papua yang gagah perkasa menjadi Papua yang sontoloyo. Papua yang sehat menjadi Papua yang sakit fisik dan mental.
Papua yang demokratis menjadi Papua yang tidak demokratis. Papua yang menyatu dengan alam dan sesama yang lain tercerai berai, terkotak-kota ke dalam wilayah dan kelompok agama, gereja, kelompok suku, Ideologi Papua Merdeka dan NKRI. Persaingan yang sangat tidak sehat mulai tumbuh subur. Konflik antar warga pun mulai bermunculan dengan alasan sepele, minum alkohol hingga adu mulut, demontrasi.
Saya mencatat beberapa fakta perubahan dan dugaan penyebab utamanya uang. Pertama, jual beli marga hingga nama tempat. Puncak Cartenz kabarnya diberi nama Tito Karnavian, Kapolda Papua saat ini. Marga Magontan menjadi marga Wenda. Marga Watubun menjadi Tanawani. Penyatuan kebudayaan Jawa dan Papua yang menjadi agenda Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua dibawa pimpinan Lanni Kogoya.
Kedua, kisah-kisah cinta wanita-pria dan hubungan seksual. Hubungan seksual kaitan erat dengan cinta yang melibatkan unsur rasa. Manusia tidak punya relasi seksual lagaknya binatang, namun tempat-tempat prostitusi, panti-panti pijat dan club-club malam membuat manusia berlagak binatang. Orang jual beli cinta dan seks. Uang membeli dan mengukur kualitas cinta.
Ketiga, kita ingat perjuangan Pater Neles Tebay tentang dialog Jakarta Papua. ‘Kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah Papua. Kedua belah pihak yang bertikai harus duduk bersama mencari solusi dan mencapai kesepakatan damai,”katanya.
Perjuangannya itu hingga kini belum ada tangapan serius dari pemerintah Indonesia. Pemerintah malah mengukur dan berusaha menghadirkan perdamaian Papua, mengajak manusia Papua mencintai NKRI dengan uang. Trilunan rupiah Jakarta kucurkan ke Papua. Triliunan rupiah itu habis buat bayar upacara perdamaian perang suku, ganti rugi tanah hingga pesta pora. Perang lagi. Upacara perdamaian lagi dan terus tanpa tahu kapan akhirnya nampak menjadi satu proyek dalam konflik di Papua.
Keempat, pemilu legislatif 2014, kita ingat kisah dan komentar dukungan rakyat terhadap Calon Legislatif (Caleg) tertentu. “Kita memilih dan mendukung penuh N…”kata rakyat mendukung caleg. Rakyat bereuforia mengikuti konvoi caleg yang tidak penah kelihatan batang hidung di kampung, yang denga percaya diri menawarkan mimpi basah di siang bolong.
Rakyat membisu, menelan kata-kata tanpa makna dengan menahan hujan, panas dan lapar mendukung ambisi dan nafsu menimbun kekayaan. Rakyat kemudian membangun gubuk dan menderita lagi.
Para Caleg tidak hanya mengiring rakyat mengikuti konvoi. Penyelengara demokrasi pun tergiur dan takluk ke dalam tangan sang caleg pemilik dewa. “Bapa punya suara di Wamena 15 menjadi 8 ribu, kemungkinan kepala daerah (punya kuasa dan uang) ambil dan Mamberamo Tengah 15 ribu, tetapi hilang dan KPU jual 8 ribu ke bapa,”SMS salah satu keluarga caleg DPRP Papua ke saya, suatu hari usai Pileg.
Uang jadi kekuatan para Caleg, mereka datangi orang orang Papua dengan bujuk rayu gombal. memang benar, kata Karl Marx, uang telah membuat kita semua lupa diri, lupa bagaimana cara manusia harus menjadi manusia, menjadi bangsa yang besar, menjadi manusia yang berbudaya dan punya harga diri.
Manusia menjadi manusia. Cinta hanya dapat ditukar dengan cinta. Kepercayaan dengan kepercayaan,”tulis Marx “Kebebasan dengan kebebasan saja,”tulis sang Revolusioner dan “Nabi” kaum proletar dunia itu.
Karena itu, uang, manusia-manusia yang mendatangi Papua lupa menjadi manusia normal. Manusia yang berbudaya, beradab, bermartabat dan memiliki harga diri yang sama dengan bangsa lain hanya dengan yang melekat pada dirinya.
Marga Mangotan lupa menjadi manusia bukan karena marga Magontan mengenakan marga Wenda. Marga Watubun menjadi manusia bukan karena mengenakan marga Tanawani. Manusia Papua menjadi berbudaya bukan karena hidup dalam budaya asimilasi Jawa-Papua.
Manusia pun lupa, karena uang, relasi seks harus yang normal. Wanita dan pria Papua, dan yang bukan Papua saling mencintai hanya atas sadar cinta, bukan karena kekuatan yang lain. Cintai yang keriting, hitam dan mencintai semua yang menjadi bagian dari pribadi objek cinta yang meliputi orang-orangnya, dan budayanya. Cinta semua dalam pribadi Papua yang satu, yang menjadi objek mencintai. Kalau karena faktor lain, itu namanya cinta palsu. Cinta penyembahan berhala namanya. Cinta terhadap benda.
Pemerintah juga lupa, terus saja meredam konfik Papua dengan dan karena uang, padahal menciptakan Papua damai pun harus melalui cara yang damai. Kalau mau Papua damai, aman, mencintai NKRI, bicarakanlah Papua melalui cara damai, aman dan mencintai orang Papua. Orang Papua mencintai Indonesia, bukan karena tekanan fisik, psikis dan uang. Kalau yang itu, namanya cinta ketakutan. Cinta kanak-kanak namanya. Konsekuensinya, anak yang takut itu akan memberontak waktu dewasa.
Karena uang Indonesia lupa, rakyat harus merayakan demokrasi harus dengan kebebasan murni. Manusia Papua memberikan sebagian hak kepada orang-orang terpercaya melalui pemilihan anggota legislatif dan pemimpin eksekutif dengan satu kepercayaan dapat melindunggi hidup dan hak mereka di negeri mereka. Pemegang kepercayaan pun melaksanakan kepercayaan dengan satu kepercayaan dan tanggungjawab bukan jual beli suara, bukan bisnis demokrasi milik boss.tertentu.
Karena uang, penyebah dewa lupa, boss menjadi boss karena kekuatan uang. Tanpa uang, anda hanyalah orang yang tidak ada apa-apa. Uang telah menjadi tuhan Anda hari ini. Mana sebenarnya Tuhan Anda? (Jubi/Mawel)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar